Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomi Tempe Dikelola dengan Mental Tempe, Semua Sudah Tahu sama Tahu!

15 Maret 2021   17:24 Diperbarui: 15 Maret 2021   17:46 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Oleh: Andre Vincent Wenas (Diolah dari rkmmedia.id)

Ini soal yang sebetulnya sederhana, supply-demand kedelai. Untuk diolah jadi Tahu, Tempe atau pakan ternak. Tiga penggunaan terbesar dari kedelai.

Data produksi kedelai lokal kita amburadul! Ada beberapa versi supply-demand perkedelean ini. Kita ambil salah satu versi saja, sekedar untuk ilustrasi.

Tahun 2021 ini perkiraan demand (kebutuhan) kedelai nasional sekitar 2,6 juta ton. Sementara produksi lokal sekitar 300-400 ribu ton saja. Maka dengan persediaan (stok) awal tahun sekitar 400 ribu ton, dibutuhkan tambahan pasokan dari impor sekitar 2,2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan tahun 2021 plus untuk persedian awal di tahun 2022.

Impor kedelai selama ini berasal dari Amerika Serikat, Brazil, Argentina, Uruguay, dll yang dilakukan oleh para importir swasta dengan rekomendasi dari Kementan dan ijin impor dari Kemendag.

Menurut catatan, 4 perusahaan swasta pengimpor kedelai terbesar adalah: PT Fishindo Kusuma Sejahtera Tbk (Edi Kusuma, Jakarta), PT Gerbang Cahaya Utama (Edi Kusuma, Jakarta), PT Golden Sinar Sakti (Widarto, Sungai Budi Group), PT Sinar Unigrain Indonesia (Hariyono Tan, Surabaya). Dan masih ada lainnya lagi.

Harga kedelai impor tentu saja tergantung harga bursa komoditi internasional (CBOT, Chicago Board Of Trade). Mereka yang sudah pengalaman dalam trading kedelai ini tentu juga sudah punya hubungan khusus dengan sumber-sumbernya masing-masing. Itu logis saja.

Berkat hubungan baik jangka panjang dan kepercayaan ini, mereka bisa melakukan kontrak jual-beli dalam future-trading dan skema CIM (consignment inventory management) system yang bisa banyak membantu arus-kas para importir. Sehingga daya saing dan daya tahan mereka jadi kuat.

Pemerintah Indonesia tentu tidak bisa mengontrol fluktuasi harga kedelai internasional itu, walau saat ini Indonesia adalah importir terbesar kedua di dunia setelah China.

Kabarnya negara produsen kedelai seperti Argentina misalnya sudah menaikkan harga jual kedelainya hampir 100% sejak Mei 2020. Di samping itu Argentina juga sempat menyetop ekspor ke negara lain lantaran stok dunia yang menurun. Sehingga logis saja jika harga jadi melonjak cukup tinggi di pasar internasional.

China sudah mengambil langkah cepat demi ketahanan pangan mereka dengan memborong kedelai dari Brazil dengan jumlah yang cukup besar. China juga berburu kedelai dari Amerika Serikat. Rebutan kedelai ini pula yang menyebabkan harganya melonjak.

Hal lain yang mesti diwaspadai tentunya adalah soal iklim. Problem kekeringan yang terjadi di Amerika Latin bisa saja menyebabkan penurunan produksi. Supply turun sementara demand naik, maka harga pun melonjak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun