Baru disusul Gerindra dengan 19 kursi, lalu PKS 16 kursi, Demokrat 10 kursi, PAN 9 kursi, PSI 8 kursi, Nasdem 7 kursi, Golkar 6 kursi, PKB 5 kursi, dan PPP 1 kursi.
Pertanyaannya ada apa dengan parpol-perpol besar koalisi Jokowi yang ada di parlemen DKI Jakarta? Mengapa lumpuh di hadapan seorang Anies Baswedan? Sudah terkooptasikah? Sudah terjerat dalam jejaring gurita para bohir politikkah?
Mengapa sampai sekarang hanya fraksi PSI yang nyata terus-menerus mengritisi kebijakan Gubernur, sedangkan fraksi lain bungkam seribu bahasa.
Bahkan saat isu tunjangan jumbo yang baru lalu itu malah terkesan ikut dalam gerombolan perompak anggaran rakyat, mengapa? Walk-out ngawur ala Jamaludin (fraksi Golkar) pun diikuti oleh semua fraksi lain, dan lagi-lagi PSI ditinggal sendirian.
Padahal dalam pidato politiknya belum lama ini Bu Megawati Soekarnoputri (Ketum PDIP) juga sudah ikut menyindir kepemimpinan Anies yang katanya telah membuat Jakarta jadi amburadul.
Namun sindiran Megawati ini pun seperti berlalu begitu saja. Fraksinya di parlemen Jakarta juga tetap impoten, tak mampu (atau memang tak mau) bertindak dengan langkah-pangkah politik yang cukup signifikan untuk menginterpelasi Gubernur seperti yang pernah diinisiasi oleh fraksi PSI.
Soal pengelolaan anggaran yang sama sekali gelap alias tidak transparan pun semua bungkam. Program smart-budgeting yang dulu pernah digembar-gemborkan oleh Anies pun tak pernah ditanyakan progresnya oleh fraksi-fraksi besar di parlemen Jakarta.
Seakrang isu uang muka Formula-E kembali mencuat, menyusul dana bansos yang tak jelas juntrungannya. Bahkan Anies kabarnya sudah lempar handuk untuk soal penanganan pandemi Covid-19 di ibu kota, tanpa pertanggungjawaban yang jelas tentang dana trilyunan yang telah digelontorkan untuk penanganan Covid-19.
Sampai-sampai membuat dokter Tirta ngamuk-ngamuk, namun -seperti biasa -- itupun dianggap angin lalu oleh Anies. Dengan cara, bungkam seribu bahasa. Semua memang dibiarkan gelap gulita.
Apakah kegelapan ini memang sengaja dibiarkan. Lantaran kegelapan adalah memang habitatnya para vampir penghisap darah.
Sehingga kita pun jadi bertanya-tanya, apakah para anggota parlemen di Jakarta juga sudah bermetamorfosa menjadi sesama vampir setelah membiarkan dirinya "digigit" oleh eksekutifnya yang lebih dulu jadi biang vampir?