Dari sejak sekaranglah para negarawan dan orang-orang baik mesti mulai melakukan pencerahan kepada publik tentang kriteria pemimpin masa depan Indonesia. Pemimpin yang jelas punya track-record kebangsaan, punya integritas (selarasnya perkataan dengan perbuatan), adil dan jujur.
Dengan banyaknya pilihan, metode seleksi bisa dengan cara eliminasi. Mengeluarkan nama-nama mereka yang tidak sesuai kriteria dari daftar 'multiple-choice' (pilihan berganda). Sehingga tersaring hanya yang sesuai kriteria.
Pilihan rakyat jadi betul-betul pilihan yang 'the best among the best', terbaik dari yang terbaik. Bukan pilihan 'minus-malum' (mesti memilih dengan pertimbangan yang paling sedikit buruknya diantara alternatif lain yang jauh lebih buruk).
Contoh kasus pilihan minus-malum ini banyak terjadi dalam kancah Pilkada Serentak 2020 yang sedang berjalan. Rakyat dihadapkan pada 3 paslon atau lebih dimana paslon yang ada, yah apa mau dikata, semuanya buruk (tak ada yang ideal).
Untuk yang petahana, tak ada yang pernah jujur dan terbuka dalam soal pengelolaan anggaran (APBD) lantaran mereka tidak pernah meng-upload detail pengelolaan anggarannya di laman resmi pemda selama mereka menjabat.
Dan untuk yang penantang baru, sayangnya mereka pun tak ada yang punya komitmen untuk transparansi anggaran. Baik sebagai tema kampanye maupun kontrak (janji) politiknya.
Padahal kita semua tahu, bahwa dokumen anggaran itu sama dengan dokumen moral! Kalau tak ada niat buruk mengapa mesti ditutupi?
Gelapnya pengelolaan anggaran ini masih menjadi biang masalah yang terus ditutup-tutupi oleh para kepala daerah, juga oleh DPRD-nya yang sudah terkooptasi jadi semacam PIC (partner in crime) dari eksekutifnya.
Kasus spekulatif Anies tamat (entah lebih cepat atau habis masa jabatannya) mesti jadi pembelajaran bagi kita untuk terus merawat akal sehat dan daya kritis. Dan jangan jadi lunglai seperti parpol-parpol itu.
22/11/2020
*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).