Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penggunaan Liar Atribut Militer oleh Sipil, Mengapa Dibiarkan?

9 Juli 2020   19:02 Diperbarui: 10 Juli 2020   08:21 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu toko di Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang menjajakan seragam dan perlengkapan polisi. (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

Dalam Konvensi Jenewa, seperti diungkapkan Marsma TNI (Purn) Ir. Dwi Badarmanto, MT seorang pengamat militer dan pertahanan, penggunaan atribut milter seperti seragam yang menyerupai tentara bakal diperlakukan sebagai combatan dalam suatu konflik. Risikonya adalah mereka bisa jadi sasaran tembak pertama.

Lagi pula, dalam UU 17/2013 Pasal 59 Ayat 1b menyebutkan, "Ormas dilarang menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan."

Dan yang dimaksud lembaga pemerintahan itu termasuk lembaga TNI/Polri, maka dilarang pula untuk menggunakan pakaian atau seragam menyerupai pakaian dinas militer.

Kalau konvensi internasionalnya sudah ada dan Indonesia ikut di dalamnya, plus sudah ada undang-undangnya, maka pertanyaannya mengapa kita masih kerap melihat banyak ormas bahkan organisasi aparat sipil negara masih menggunakannya?

Apakah ini suatu bentuk ketidaktahuan? Atau pembiaran yang disengaja? Apakah memang dipelihara oleh pihak-pihak tertentu? Untuk keperluan apa?

Indonesia jelas negara yang menganut faham supremasi sipil. Walau sepanjang sejarah Orba khususnya seakan warga sipil dinomorduakan. 

Dulu, apa-apa serba militer atau pensiunan ABRI. Kala itu, kita sama-sama mahfum bahwa jatah posisi bupati/walikota adalah untuk para pensiunan kolonel, sedangkan dirjen, dubes, gubernur atau setara menteri adalah jatahnya para bintang (jenderal).

Tak bisa dipungkiri pula bahwa atribusi militeristik yang dipakai bisa memberi semacam 'previlege' perlakuan sosial.

Ilustrasi seragam via piqsels.com
Ilustrasi seragam via piqsels.com
Militerisasi sipil mulai dari warna kapitalis yang totaliter, misalnya saja intensi memasang komisaris atau direksi para pensiunan tentara atau polisi yang sekadar untuk 'menakut-nakuti' aparat sipil lain agar jangan coba-coba 'mengganggu' operasi bisnisnya.

Tidak ada salahnya untuk mempekerjakan para mantar militer atau polisi dalam dunia bisnis, asal saja memang dasar pemikirannya adalah profesionalisme, bukan premanisme.

Bahkan ditengarai ada pula sementara pihak yang berupaya menciptakan budaya ketakutan. Ketakutan akan hantu komunisme misalnya. Budaya ketakutan ini pun dikapitalisasi pula oleh banyak politisi oportunis atau pihak lain demi melanggengkan kekuasaannya dengan memanfaatkan "persepsi" supremasi militer terhadap sipil yang dulu sangat kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun