Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banalitas Kejahatan dalam Narasi PKI oleh para Petualang Politik

30 Mei 2020   01:13 Diperbarui: 30 Mei 2020   11:05 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musuh terbesar demokrasi adalah banalitas, kondisi ketidak-berpikiran partisipannya. Menganggap yang jahat sebagai yang normal. Karena jelas bahwa pemerintahan oleh rakyat (demos-kratos) seyogianya dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan. Suatu keberpikiran sebagai lawan dari ketidak-berpikiran.

Apalagi dalam suatu proses permusyawaratan, dimana tesis, antitesis berdasar argumentasi sahih mesti diwacanakan dalam perdebatan terbuka. Kalau hikmat dan kebijaksanaan itu absen dalam proses permusyawaratan, maka mutu sintesa dialektis dalam demokrasi pun bisa dicurigai sangat rapuh, bahkan bobrok.

Yang muncul bukan lagi sintesa bermutu, tapi hasil kongkalikong konspirasi rejim yang mengooptasi semua instrumen perimbangan kekuasaan (trias politika). Tidak ada lagi perdebatan argumentatif, tapi cuma sekedar transaksi dagang sapi, jual beli suara dan pasal-pasal sesuai kepentingan para konspirator.

Meminjam jalan pikiran Hannah Arendt, situasi ketidak-berpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Para partisipannya bukannya orang gila atau orang kejam, kebanyakan hanyalah orang-orang yang amat normal.

Tapi justru lantaran 'normalitas'nya itulah mereka malah jadi menakutkan. Kenapa menakutkan? Karena  mereka malah jadi partisipan yang tidak berpikir. Kejahatan terbesar justru kebanyakan dilakukan oleh orang biasa yang tidak merasa melakukan tindakan jahat.

Kebanyakan orang adalah orang kebanyakan yang menganggap sesuatu yang sebetulnya jahat sebagai sesuatu yang wajar. Ini jelas  patologi sosial yang jangan-jangan telah lama diidap oleh masyarakat umum di Indonesia.

Kita ambil contoh soal diskriminasi sistemik. Reza A.A Wattimena pernah menulis, "Diskriminasi sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, ras, ataupun golongannya di masyarakat."

Lanjutnya, "Misalnya etnis minoritas yang tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut agama minoritas mendirikan rumah ibadah, dan berbagai diskriminasi lainnya." (Hannah Arendt, 'Banalitas Kejahatan, dan Situasi Indonesia', 2011).

Dikatakan bahwa diskriminasi seperti ini sifatnya sistemik lantaran kejahatan model begini telah mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di Indonesia. Akibatnya tidak lagi dirasa sebagai suatu kejahatan. Inilah yang disebut sebagai banalitas kejahatan, dianggap sebagai tindakan yang normal atau wajar saja.

Partisipan dari kejahatan model begini bukanlah orang yang disebut kejam, melainkan mereka hanya orang yang tidak berpikir secara mendalam. Mereka juga tidak punya daya imajinasi untuk bisa  membayangkan penderitaan orang lain, tak ada empati.

Sekarang soal narasi politik kontemporer, yaitu soal isu bahaya laten PKI. Kalau kita menilik rangkaian kejadian bernuansa politik di Indonesia kok rasanya ada semacam pola yang berulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun