Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hegemoni Lewat Jebakan Utang Luar Negeri, Mungkinkah?

12 April 2020   19:56 Diperbarui: 12 April 2020   20:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Hegemoni Lewat Jebakan Hutang Luar Negeri, Mungkinkah?*

Oleh: *Andre Vincent Wenas*

Ada kekuatiran di sementara kalangan bahwa Indonesia sedang masuk dalam perangkap hutang luar negeri, terutama dari Tiongkok. Suatu kekuatiran yang wajar dan sah saja. Namanya juga warga negara yang berpikir dan peduli dengan bangsanya.

Soal angka-angka hutang piutang luar negeri Indonesia bisa ditelisik lebih jauh di berbagai sumber resmi. Tak perlu lagi dibahas dalam ruang yang sempit ini.

Soal debt-trap (perangkap hutang) sebetulnya bukanlah topik pembicaraan yang baru. Banyak pengamat ekonomi-politik dunia yang sudah menelaahnya. Misalnya Ha-Joon Chang, 'Bad Samaritans: The Myth of Free Trade and the Secret History of Capitalism'. Atau Noreena Hertz, 'The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy'.

Masing-masing tentu mendapat kritikan tajam juga, lantaran keduanya juga melakukan kritik terhadap posisi neo-liberalisme.

Ha-Joon Chang mengklaim bahwa negara-negara maju menginginkan agar semua negara berkembang menganut kebijakan pasar yang bebas terbuka. Chang menuduh bahwa mereka ini sesungguhnya adalah seperti orang Samaria tapi versi yang jahatnya. Pura-pura membantu (dengan pinjaman, dll) padahal intensi sesungguhnya adalah menguasai, hegemoni.

Noreena Hertz memperingatkan bahwa pasar yang tidak diregulasi, lalu membiarkan korporasi bergerak bebas dengan segala keserakahannya, serta merajalelanya lembaga-lembaga keuangan raksasa dunia akan membawa konsekuensi yang serius secara global. Dan akhirnya dampak yang terburuknya bakal dialami oleh masyarakat luas. Diam-diam (silently) terjadilah pengambilalihan.

Okelah, perdebatan lama antara kapitalisme versus sosialisme. Keduanya khan sudah merevisi dirinya masing-masing.

Yang kapitalis juga bukan lagi murni, sudah menjelma jadi welfare-state ala negara-negara skandinavian. Dengan pajak yang tinggi tapi dikembalikan lagi kepada rakyat dalam bentuk infrastruktur (sarana publik, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial).

Yang sosialis juga sudah tidak murni lagi. Tidak usah panjang lebar, lihat saja Tiongkok. Sistem politiknya komunis tapi sistem ekonominya kapitalis (paling tidak state-capitalism). Campur sari deh pokoknya, yang penting bisa nangkep tikus gak peduli kucingnya warna hitam atau putih. Prinsipnya efektif dan efisien, titik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun