Situasi dilematis adalah keseharian para pemimpin. Mesti mengambil keputusan dari berbagai alternatif yang ada, tentu dengan segala konsekuensi atau resiko yang mengikutinya.
Bisa berhasil dan dipuja-puji, bisa pula gagal atau belum berhasil saat itu, lalu jadi bahan olokan atau malah  dicaci-maki. Di-bully.
Tulisan saya berjudul "Tidak Lockdown! Keputusan Berani Seorang Pemimpin" yang dimuat di Kompasiana (https://www.kompasiana.com/andrevincentwenas/5e78a08ed541df2e5013ce23/tidak-lockdown-keputusan-berani-seorang-pemimpin) dan beredar di medsos ternyata mengundang kontroversi juga.
Begini,
soal mau di-lockdown atau tidak, paling tidak khan ada tiga pilihan keputusan.
Pilihan pertama: Tidak Lockdown. Tentu dengan segala konsekuensi dan tindak lanjut yang mesti dikerjakan. Sesuai scenario-planningnya.
Pilihan kedua: Lockdown. Tentunya juga dengan segala konsekuensi dan tindak lanjutnya.
Pilihan ketiga: Tidak memutuskan apa-apa. Diam saja. Walau sebetulnya, tidak memutuskan adalah termasuk suatu pengambil keputusan juga. Keputusannya adalah tidak memutuskan apa-apa. Pembiaran saja, diam saja. Dan tetap ada konsekuensinya.
Dalam praktek manajemen atau praktek kepemimpinan, tidak serta merta selalu bisa dikatakan keputusan yang diambil itu benar atau salah. Pertimbangannya multi dimensi, lintas sektoral dan termasuk pertimbangan spatio-temporal (tempat atau ruang dan waktu, momentum, timing-nya).
Yang penting adalah keputusan mesti diambil dengan segala konsekuensi yang mengikutinya. Itulah leadership. Berani mengambil keputusan dan berani pula memikul resikonya. Berani bertanggung jawab.
Banyak orang punya aspirasi untuk jadi pimpinan, namun tak semua orang bisa jadi pemimpin. Banyak yang mau jadi pemimpin tapi tidak berani memutuskan, lantaran dibalik setiap keputusan senantiasa ada resiko, ada konsekuensi.