Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bikin Jendela di Tempat yang Dikungkung Tembok

24 Januari 2020   21:23 Diperbarui: 25 Januari 2020   10:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/Handining

Adalah Marcus Tullius Cicero yang mengatakan, "It is not by muscle, speed or physical dexterity that great things are achieved, but by reflection, force of character and judgement." 

Bahwa keagungan bukalah dicapai lewat kedegilannya dalam adu otot, tapi lewat kerja kecendekiaan, karakter, dan bijaksana dalam menimbang perkara.

Bukan dengan merasa kuat lantaran dibekingi gerombolan preman (mafia maupun konglomerat hitam) lalu kege'eran merasa hebat. 

Melainkan dengan kemampuan menafsirkan realitas sosial (reflection), berbekal kerendahan hati (character), serta kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional (judgement) yang terasah.

Terasahnya lewat keberanian mengarungi lautan pengalaman (experience, dan ketegasan memutuskan pilihan-pilihan hidup yang menerpa. Serta siap menanggung dan bertanggung jawab atas segala risikonya dari setiap keputusan yang diambil.

Segala akrobat politik yang sedang dipertontonkan oleh para petualang kekuasaan saat ini hanya terbaca sekadar sebagai upaya pengelabuan. Kerja tipu sana tipu sini yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Inilah yang terbaca dari fenomena sosial yang terjadi dalam kancah perpolitikan akhir-akhir ini. 

Entah itu partai politik yang adigang adigung merasa kuasa, atau gubernur (kepala daerah) yang juga kege'eran merasa paling kuat. Padahal dia sendiri tahu persis bagaimana ia bisa sampai bisa duduk dalam tampuk kekuasaan.

Bagaimana ia dulu dengan siasat machiavellisme telah menghalalkan segala cara demi menyerobot suara rakyat. Entah itu dalam bentuk politik uang, kampanye hitam, atau siasat jahat bahkan secara fisik sekalipun kalau itu dipandang perlu.

Padahal semua yang diperebutkan itu adalah hal yang semu dan fana (tak ada yang abadi). Sejarahlah yang akan menguji kadar kemurnian niat bakti mereka. 

Perjalanan waktu jualah yang akan membuktikan dan generasi mendatang akan jadi hakimnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun