Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gorengan Politik Berkolesterol Tinggi

17 Januari 2020   00:41 Diperbarui: 17 Januari 2020   00:53 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nampak jelas ada pergeseran isu. Dari isu PAW (pergantian antar waktu) kader PDIP di DPR-RI yang belum jelas, atau belum pernah dijelaskan kenapanya, jadi bergeser ke isu Framing Politik terhadap Hasto Kristiyanto, sekjen PDIP. Dan karena itu PDIP nampaknya terposisikan sebagai korban yang terzolimi oleh sindiran-sindiran lewat cuitan (twitter) dari kader partai lain.

Jejak digital soal ini gampang sekali ditelusuri.

Isu awalnya adalah soal PAW janggal yang terungkap ke publik lantaran OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU. Oleh sementara pihak, akibat beredarnya berita tentang drama OTT yang gagal terhadap Hasto Kristiyanto (yang sampai saat ini belum jelas bagaimana duduk persoalannya), digorang-goreng sedemikian rupa sehingga isu awal bergeser.

Pernyataan bela-diri PDIP lewat konferensi persnya mensinyalir bahwa ini semua adalah semacam upaya untuk mem-framing secara politik yang mendiskreditkan kredibilitas kepemimpinan partai.

Dan lantaran belum atau tidak ada kejelasan atau ketegasan soal sahih atau tidaknya tindakan penggeledahan KPK di kantor pusat PDIP, soal surat tugas dari Dewas (Dewan Pengawas) yang masih sumir, ditambah lagi pernyataan petinggi KPK yang bilang bahwa penggeledahan yang sesungguhnya baru akan dilakukan 'minggu depan'.

Lhaa...tambah runyam. Logika sederhana publik dibikin bingung, akibatnya isu utama soal PAW janggal yang terindikasi ada politik uang, korupsi, kongkalikong tingkat tinggi jadi hanyut dibawa banjir bandang isu 'framing politik' yang terus menerus disembur.

Coba kita kembalikan ke konstruksi awal persoalannya:
Saat hasil Pileg 2019 dirilis, Harun Masiku mendapatkan 5.878 suara jauh di bawah alm Nazarudin Kiemas (145.752 suara) dan Riezky Aprilia (44.402 suara), dan Darmadi Jufri (26.103 suara). Kemudian Doddy Julianto Siahaan (19.776 suara) dan Diah Okta Sari (13.310 suara).

Namun Nazarudin Kiemas yang juga ipar dari Megawati Soekarnoputri ini meninggal sebelum hari pencoblosan pileg. Sehingga posisi Harun jadi di urutan kelima, dan Riezky naik jadi urutan pertama untuk menggantikan Nazarudin Kiemas.

Entah bagaimana, manuver-manuver politik pasca pileg pun masih terus berlangsung. Ada surat menyurat resmi yang dilakukan para petinggi PDIP untuk membuka jalan bagi Harun Masiku duduk di parlemen pusat. Apa motif di belakangnya belum jelas. Semua petinggi PDIP masih mingkem juga sampai sekarang.

Begini kronologi surat menyurat yang berkaitan dengan permohonan permintaan Harun Masiku sebagai pengganti antar waktu (PAW) untuk Nazarudin Kiemas. Seperti diungkap Arief Budiman dalam Konferensi persnya di Kantor KPU hari Jumat tanggal 10 Januari 2020 lalu:

Surat pertama soal permohonan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung (MA) ditandatangani oleh Ketua Bapilu, Bambang Wuryanto dan Sekjen Hasto Kristiyanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun