Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Uang dan Politik Identitas, Tantangan Pilkada Serentak 2020

21 Desember 2019   21:49 Diperbarui: 23 Desember 2019   12:39 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Andre Vincent Wenas

Pendidikan politik oleh pemerintah, parpol dan golongan cendekiawan mesti terus menerus dilakukan. Terutama dalam menghadapi pilkada serentak 2020 yang sebentar lagi akan dilaksanakan di 270 daerah seluruh Indonesia. 

Pilkada serentak ini rencananya akan dilakukan bulan September tahun depan. Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, satu diantara yang terpenting adalah konsientisasi (proses penyadaran) politik rakyat. Agar mereka bisa memilih dengan bijak dan cerdas, bukan lantaran disiram duit saat serangan fajar. Atau juga memilih berdasarkan politik identitas (keagamaan atau etnisitas/kesukuan). Apa yang terjadi di pilkada ibu kota Jakarta tahun 2017 lalu jadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Tatkala kompetensi dan rekam jejak sang calon dipinggirkan dan lebih mengemukakan primordialisme sempit sebagai kriteria utama, maka ayat dan mayat pun jadi arsenal perang menyembur kebohongan (hoaks) sampai hati nurani dan pikiran jernih luluh lantak. 

Hasilnya? Manajemen kota yang amburadul dan pengelolaan anggaran yang gelap gulita. Masalahnya di tengah kegelapan ini para vampir APBD gentayangan menghisap darah pajak rakyat dengan rakusnya. Program pembangunan hanya fatamorgana dalam bentuk olah kata.

Pilkada yang bebas Hoaks, Politik Uang dan Politik Identitas.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak bakal digelar pada 23 September 2020 mendatang. Demikian hasil rapat bersama yang dilakukan KPU dan Komisi II DPR untuk membahas PKPU dalam Pilkada 2020.

Menanggapi ini, Anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PSI, Wiliam Aditya Sarana menyatakan caveat (peringatan dini), "Saya pengalaman sebagai caleg berkampanye 1 tahun, jadi saya tahu betul politik uang dan sembako itu banyak dilakukan." Seperti diberitakan Okezone, Jumat (20/12/2019).

Celakanya politik uang dalam pemilihan umum seperti ini dianggap sudah lumrah dilakukan, bahkan dianggap wajar. Kalau tidak bagi-bagi duit maka dianggap tidak wajar! Ini adalah patologi sosial yang akut (parah) dan kronis (menahun). Patologi Sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal.

"Pertama bawaslu dan polisi melakukan penindakan yang tegas dan ketat pada pelaku penyerangan fajar kali ini, kedua untuk mencegah caleg memberikan uang, biaya-biaya ilegal seperti jual beli nomor urut, uang mahar, dan lain-lain dihentikan oleh oknum parpol," demikan saran William A. Sarana.

Partai politik ikut andil bertanggungjawab atas carut marutnya moral politik ini. Uang setoran bulanan untuk kas partai yang dipotong dari gaji anggotanya yang terpilih merupakan praktek premanisme politik yang selama ini sudah dianggap wajar pula. 

Partai politik bukannya jadi wadah penyiapan dan pembinaan kader yang mumpuni, tapi sekedar jadi calo penjaringan buat mereka yang mau jalan pintas dengan metode suap dan kongkalikong. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun