Saat ini Indonesia sedang diuji dengan berbagai permasalahan ekonomi, apalagi adanya pandemi Virus Corona (Covid-19) yang mengakibatkan daya beli masyarakat semakin menurun secara signifikan, bahkan beberapa industri pun terpaksa harus menurunkan jumlah produksi dan juga merumahkan karyawan selama pandemi Covid-19.
Dalam upaya bangkit dari berbagai permasalahan yang terjadi saat ini, tentu saja diperlukan adanya regulasi yang dapat menjamin kemudahan investor untuk menanam modal serta memfasilitasi dunia usaha bagi para pencari kerja. Pemerintah telah merumuskan hal tersebut dalam RUU Cipta Kerja.
Kebijakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan mengarah pada kemudahan dalam mengoreksi berbagai regulasi yang bermasalah. Pendekatan RUU tersebut juga dapat menjadi solusi dari adanya tumpang-tindih regulasi, baik dalam hierarki vertikal maupun horizontal di Indonesia.
Sejak awal, Pemerintah juga berupaya membawa berbagai kebijakan yang ada didalam RUU Cipta Kerja hingga tahap pembahasan di tingkat Baleg DPR-RI, dimana materi draft RUU tersebut memuat penyederhanaan birokrasi dan perizinan usaha, hingga jaminan bagi para buruh seperti jaminan kehilangan pekerjaan.
Dalam implementasinya nanti, RUU Cipta Kerja akan memberikan tiga manfaat yang akan didapat masyarakat, seperti merapikan tumpang-tindih regulasi perundang-undangan, efisiensi proses perubahan, serta meniadakan ego sektoral yang seringkali terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Indonesia saat ini juga telah memasuki era Industri 4.0 sehingga Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan pola tahun 2003 tentu berbeda dengan tahun 2020. Oleh karena itu, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat menyesuaikan kebutuhan pasar tenaga kerja di era Industri 4.0.
Materi pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan memang harus beradaptasi, mengingat rentang waktu yang sudah terlalu lama dan kondisi perekonomian dunia yang sudah banyak berubah. Namun jangan dibayangkan bahwa RUU Cipta Kerja akan menganut sistem free labour market seperti yang diterapkan oleh Amerika Serikat, dimana sistem tersebut sangat mudah merekrut dan memecat tenaga kerja.
Sementara di Indonesia tentu tidak akan se-ekstrim itu, salah satu bukti yaitu dengan adanya jaminan PHK serta jaminan buruh / pekerja untuk bisa mendapatkan pelatihan kerja, sehingga dapat memperoleh pekerjaan kembali di masa pandemi Covid-19.
Era Industri 4.0 menuntut segala instrument ekonomi dapat menjadi efektif dan efisien, sehingga sangat membutuhkan kecepatan dalam birokrasi dan proses perizinan. Kondisi regulasi yang tumpang-tindih hingga di tingkat daerah tentu berpotensi menghambat pertumbuhan kinerja investasi di dalam negeri. Tentu saja hal ini harus disederhanakan melalui RUU Cipta Kerja.
Upaya penolakan terhadap RUU Cipta kerja tentu dapat dimaklumi, karena hal ini dinilai wajar saat ada kebijakan ekonomi yang sifatnya baru pasti akan menimbulkan ekses. Namun secara prinsip dan kebutuhan di era yang berbeda, RUU Cipta Kerja memang patut diperjuangkan agar segera disahkan menjadi Undang-Undang. Apalagi kondisi ekonomi negara yang sedang terpuruk saat ini.
Pasca pandemi nantinya, tentu saja dibutuhkan semacam akselerasi atau percepatan dalam meningkatkan perekonomian nasional terutama membawa ekonomi Indonesia menuju era Industri 4.0. Penyederhanaan regulasi mutlak diperlukan untuk memperbaiki buruknya iklim investasi di Indonesia karena menjadi komponen penting yang dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.