Upaya perumusan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang digagas pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin terus menuai gelombang pro dan kontra ditengah masyarakat. Namun terdapat hal positif dari kehadiran RUU tersebut nantinya, dimana konsep Omnibus Law akan mendorong perbaikan kondisi iklim investasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
Langkah pemerintah untuk menerapkan skema Omnibus Law makin terbuka lebar, bukan hanya karena dapat mengurai kerumitan peraturan yang ada, tetapi juga memberikan berbagai dampak positif khususnya bagi perekonomian nasional. Ditambah lagi, Omnibus Law RUU Cipta Kerja secara khusus akan memperbaiki setiap regulasi di bidang ekonomi yang meliputi investasi, pajak, pembangunan, serta ketersediaan lapangan pekerjaan.
Pertumbuhan kinerja investasi di Indonesia selama ini selalu terhambat oleh regulasi dan birokrasi yang rumit. Belum lagi, ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah yang berdampak terhadap tumpang tindih kewenangan, sehingga tidak heran jika Bank Dunia pada 2019 lalu merilis laporan bertajuk Ease of Doing Business 2020 yang menempatkan peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis masih rendah yakni peringkat ke-73 dari 140 negara.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, Indonesia tertinggal jauh yakni dari Singapura (peringkat 2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei Darussalam (66), dan VIetnam (70). Omnibus Law RUU Cipta Kerja dinilai hadir untuk menciptakan lapangan kerja dan memastikan hak dan kesejahteraan buruh tercapai. Sebab, muara dari investasi pada dasarnya adalah menyerap tenaga kerja yang tersedia, sehingga nantinya akan mampu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sementara saat ini, pandemi Virus Corona (Covid-19) telah memukul kinerja perekonomian nasional. Masyarakat pun mendesak agar DPR segera membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diyakini juga mampu membantu peningkatan ekonomi serta memberikan harapan bagi para perkerja yang terdampak pandemi Covid-19.
Konsep Omnibus Law tersebut diterapkan dalam rangka menyederhanakan peraturan perundang-undangan yang selama ini terkesan sectoral, sehingga  jika dibahas tanpa proses yang matang maka kedudukan RUU tersebut justru akan lemah dan mudah digugat setelah disahkan, serta dapat menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
Dalam sebuah produk hukum perundang-undangan setidaknya harus memenuhi tiga aspek, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara filosofis, pemerintah maupun DPR harus memastikan bahwa RUU Cipta Kerja sudah sesuai dengan falsafah bangsa. Secara sosiologis, pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa RUU tersebut juga mengagregasikan dan mengartikulasi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan secara yuridis, pemerintah dan DPR perlu memastikan sejauh mana RUU Cipta kerja taat regulasi termasuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Pemerintah pada dasarnya memiliki niat baik untuk menciptakan iklim investasi dan bisnis yang kondusif, menghindari ekonomi berbiaya tinggi, serta memangkas regulasi yang menghambat investasi sehingga berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia kedepannya. Oleh karena itu, komunikasi DPR dalam proses pembahasan materi RUU dengan berbagai pihak harus intens, sehingga dapat menata ulang substansi-substansi materi Pasal yang dinilai bermasalah dan krusial, seperti pada klaster ketenagakerjaan.
Keyakinan dan harapan untuk menjadikan ekonomi Indonesia lebih maju sudah semakin dekat, sehingga tidak perlu berlama-lama untuk segera mengesahkan aturan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini. Toh, seluruh pihak dan elemen masyarakat menyadari pentingnya penyederhanaan regulasi, sebagai upaya mewujudkan perbaikan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Resistensi terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang terjadi lebih disebabkan oleh kurangnya sosialisasi yang masif dari DPR dan pemerintah. Padahal, RUU tersebut memiliki banyak substansi positif yang dibutuhkan Indonesia dalam menghadapi kondisi krisis seperti saat ini dengan meningkatkan iklim investasi di dalam negeri.