Mohon tunggu...
Andreas Hery Saputro
Andreas Hery Saputro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Don't grow up. It's a trap!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bebas Belajar

30 Maret 2012   03:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:16 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya teringat pengalaman ketika memutuskan untuk masuk seminari. Sekolah setingkat SMA, untuk calon imam katolik, seperti pesantren bagi umat muslim. Ibu mendukung saya tetapi Bapak dengan keras menentang. Saya adalah anak tunggal lalu siapa yang akan melanjutkan keluarga kami?

Saya tetap nekad mendaftar ke Seminari Mertoyudan di Magelang, seminari terbesar di Indonesia. Tes potensi akademik lolos, kembali saya meminta restu dari orang tua saya. Berikutnya tes wawancara, saya kembali lolos tapi Bapak belum memberikan lampu hijau. Tes terakhir adalah tes kesehatan (general check-up). Puji Tuhan saya pun lolos, dengan ini saya semakin berani berbicara langsung kepada Bapak.

Saya dan Bapak sangat dekat, sebagai anak tunggal saya mengangggap beliau sebagai sosok ayah, kakak, juga sahabat. Saya memahami kegalauan hati beliau. Saya hanya meminta pengertian bahwa bersekolah di Seminari tidak otomatis harus menjadi seorang romo. Saat itu lah saya merasakan pengalaman berbicara dari hati ke hati dengan Bapak. Bapak akhirnya merestui saya belajar di Seminari.

Keras

Pengalaman saya yang keras kepala menghantarkan masuk ke Seminari Mertoyudan. Belajar bersama teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya tidak hanya nilai-nilai akademik yang diutamakan tetapi juga pengembangan bakat diri, bersosialisasi, dan berelasi dengan Tuhan. Di usia kami yang remaja, masa-masa SMA tidak diwarnai bunga-bunga cinta tetapi pergulatan untuk menentukan pilihan hidup.

Setelah tahun ketiga, saya belajar di luar Seminari. Setahun merasakan pengalaman seperti pelajar SMA pada umumnya. Saya mengalami sendiri budaya senioritas, guru yang otoriter, dan berbagai kenakalan remaja lainnya. Realita dunia luar memang tidak semanis di dalam dinding asrama. Saya belajar untuk dapat beradaptasi.

Di kelas tiga SMA, saya memutuskan untuk masuk kelas IPS. Bukan pilihan yang populer, orang lain kebanyakan hanya memandang sebelah mata. Kelas IPA-lah yang menjadi idola. Padahal setiap orang diciptakan Tuhan dengan talenta yang berbeda-beda. Saya menyadari potensi diri, saya tidak terlalu baik dalam berhitung. Hobi saya membaca dan ingin belajar menulis. Inilah yang menghantarkan saya untuk masuk ke jurusan Jurnalistik ketika kuliah.

Karakter

Dari pengalaman saya, belajar di sekolah ditentukan oleh beragam pilihan. Ada anak jalanan yang harus mengamen tetapi tetap memilih untuk bersekolah. Ada remaja yang terpaksa masuk kelas IPA demi menjaga gengsi keluarga. Beruntung orang tua saya cukup memberi saya kebebasan untuk menentukan pilihan dalam belajar.

Belajar adalah proses menjadi. Dengan bersekolah, kita mencoba meraih kesempatan menjadi apa yang kita inginkan. Pasti ada bagian yang berat dan menyakitkan tapi dengan belajar kita mengasah talenta yang ada dalam diri kita. Semua ini harus didasari oleh kehendak bebas (free will) bukan sekedar paksaan belaka.

Saat ini, pemerintah melalui Departemen Pendidikan mengalakan pendidikan karakter. Semoga sekolah memberi perhatian pada siswa untuk dapat mengembangkan bakatnya. Karakter dibentuk tidak hanya dengan bersikap baik tetapi agar mampu mengasah potensi dalam diri. Sekolah tidak hanya mengajarkan nilai akademis tetapi juga memupuk kearifan lokal dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun