Mohon tunggu...
Andreas Yoga
Andreas Yoga Mohon Tunggu... Programmer - The Horror Story Telling

Tidak selamanya seorang programmer hanya mengerti bahasa program, kita juga memiliki hobby yang sedikit abstrak

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Anak Tukang Bubur Jadi Programer #TAYTB

9 Mei 2019   12:25 Diperbarui: 9 Mei 2019   12:37 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah anda berpikir untuk menjadi orang gagal? Sebagai manusia tentu saja tidak. Pada umumnya pasti kita semua ingin menjadi orang yang sukses dan berhasil. Saya akan menceritakan orang tua saya yang memulai kehidupan dari nol semenjak pindah ke kota Yogyakarta. Pada tahun 1999 adalah masa yang sangat kelam bagi keluarga kami. Orang tua saya memutuskan untuk pindah dari kota pekalongan menuju ke Yogyakarta di daerah pedesaan  Sleman. Dengan modal uang 150 ribu mereka nekat untuk pulang ke kampung halaman ayah saya. Tentu saja dari keputusan itu mereka meninggalkan pekerjaan yang menghidupi keluarga kami selama ini, sehingga awal kepindahan mereka ke Yogya membuat ekonomi keluarga kami berantakan. Saat itu saya berusia 6 tahun dan diusia saya saat itu mereka pun harus menyekolahkan saya, wajar jika mereka pun harus memutar otak untuk bisa bertahan dari kerasnya kehidupan. Alasan ayah saya pindah ke Yogya karena Ia diminta menemani eyang putri dan eyang akung yang tinggal disana. 

Selama awal perjuangan keluarga kami apapun kami lakukan. Jika kalian pernah bermain game harvest moon kehidupan kami di Yogya hampir mirip pada saat kalian memulai game harvest moon tersebut. Sebagai seorang yang memulai dari nol orang tua saya mempunyai prinsip yang keren yaitu "ora ono sejarahe njaluk wong tuo,sak susah susah e pie carane kudu iso urip" tidak ada sejarahnya minta orang tua, sesusah susahnya harus bisa hidup, itulah yang mendasari tekat orang tua saya untuk berjuang. Bulan pertama kami bertahan hidup dari menjual kelengkeng di kebun belakang rumah kami, tidak banyak hanya ada 2 sampai 3 pohon saja, jika dipanen pun hanya menghasilkan 1 ember kecil, dari hasil penjualan buah kelengkeng tersebut paling banter hanya mendapat 20 ribu rupiah yang harus di gunakan untuk bertahan lebih dari 1 minggu. Hebatnya dengan uang tersebut ibu saya bisa mengolah untuk bertahan hidup selama 1 minggu penuh bahkan masih ada sisa 2-5 ribu rupiah yang ia pakai untuk di tabung. Minggu ke 2 di bulan yang sama ayah saya ikut menjadi kuli bangunan di rumah tetangga lumayan untuk menambah biaya masuk sekolah dan makan sehari hari. 

Selama hampir 3-4 bulan kerja keras orang tua saya bisa membawa saya untuk bersekolah ke sebuah SD swasta disana. Bahkan uang hasil tabungan ibu saya bisa digunakan untuk modal usaha baru keluarga kami,padahal tidak banyak sekitar 200 ribuan saat itu.  Uang tersebut digunakan untuk membuka usaha bubur kacang ijo. Sistem berjualan yang di pakai pun masih dengan menitipkan dagangan kewarung warung dan koperasi sekolah saya. Setiap pagi saya membawa 10-15 bungkus untuk di taruh di koperasi,pulangnya saya membawa uang dan sisa  jualan tersebut. Tahun ke dua usaha ini membuahkan hasil ayah saya bisa membeli sebuah gerobak yang dipakainya untuk berkeliling setiap hari, namun tidak lama berjualan ayah saya mengalami kecelakaan gerobak yang ia pakai berjualan terjun bebas ke jurang dan menumpahkan dagangan tersebut bersama ayah saya bahkan gerobak itu pun terbakar ludes bersama baju ayah saya. Untung ayah saya tidak kenapa kenapa hanya luka luka dan mendapatkan perawatan selama 3 hari. Kejadian tersebut membuat usaha kami gulung tikar dan menyisakan modal usaha 80 ribu rupiah. 

Selama 1 minggu orang tua saya terus murung dan sulit untuk di ajak bicara, padahal saat itu ibu saya pun sedang hamil tua wajar saja kejadian ini membuat mereka shock. Namun kebangkitan ibu sayalah yang membuat keluarga kami bangkit dari keterpurukan, sisa modal dibelikanya tepung 3 biji,kecap 2 renceng , tempe sebanyak 15 biji, bawang merah beberapa ons  dan itu masih teringat jelas di benak saya sampai saat ini. Ibu saya menggelar tikar kecil didepan rumah dan menjualnya ke penduduk sekitar. Hari demi hari daganganya pun semakin laris tidak lama pun ayah saya di terima di sebuah rumah sakit untuk bekerja sebagai office boy dan pemandi mayat. Tahun demi tahun pun berlalu usaha kami sudah merambat ke pasar. Saat itu saya sudah beranjak ke sekolah menengah pertama tepatnya tahun 2005. Setiap subuh dini hari saya dan ayah saya berjualan di pasar dan pulang sebelum pukul 7. 

Namun cobaan terhadap keluarga kami belum usai 27 mei 2006 terjadi gempa hebat di Yogyakarta, saat itu saya tidak ikut berjualan dan digantikan ibu saya. Pada pukul 6 pagi gempa mengguncang  seluruh kota kami, saat itu saya terjebak di dalam rumah bersama adik saya, kami hanya bisa terdiam dan berdoa karena kebiasaan orang tua kami mengunci seluruh rumah saat di tinggalkan. Jelas sekali genting berjatuhan di depan mata kami,dinding rumah pun hampir menimpa kami berdua. Ajaibnya kami selamat meskipun dinding didepan kami sudah miring 45 derajat. Setelah gempa berhenti kami buru buru lari melalui jendela rumah. Saat berhasil keluar ternyata eyang akung sudah terduduk lemas sambil memegangi kepalanya yang berdarah di pelataran jalan,kata Eyang Putri ia berusaha menyelamatkan kami dengan mendobrak pintu tapi malah kejatuhan genting yang berguguran. Tidak lama orang tua kami pun pulang ke rumah. Syukur keluaga kami masih utuh meskipun kondisi rumah sudah tidak memungkinkan untuk ditinggali. Butuh waktu lama untuk kami merenovasi rumah, bahkan modal usaha selama ini pun ludes untuk memperbaiki kondisi rumah yang hampir roboh untungnya ada sedikit suntikan dana dari pemerintah untuk para korban bencana. 

Tahun 2007 ibu saya membuka usahanya lagi ia membuat warung kecil berukuran 2x1 di samping rumah. Usaha ini pun terus bertahan hingga saya lulus Sekolah Menengah Kejuruan. Hingga setelah lulus sekolah saya memutuskan untuk bekerja di luar kota. Setiap satu tahun sekali saya pulang kerumah usaha ibu saya terus berkembang, dari yang ukuranya 2x1 menjadi 4x4 dan dagangan yang di jual pun semakin komplit. 2013 saya memutuskan untuk bekerja dan kuliah. Saya mengambil jurusan Sistem informasi disana. Selama hampir 3 tahun saya sulit untuk pulang kerumah karna padatnya jadwal. Hingga di tahun 2017 menjelang kelulusan saya pulang kerumah. 

Warung yang saat itu seukuran peti mati sekarang menjadi minimarket sederhana di desa saya,yang dulu hanya berjualan tepung 3 biji sekarang sudah menjadi berkarung. Dari situlah saya belajar bahwa hidup itu sederhana,selama kita bersyukur,berusaha dan berdoa tanpa menyalahkan pihak manapun pasti akan membuahkan hasil yang baik. Dicaci,dimaki dan dihina adalah bumbu semangat yang baik untuk membalikan keadaan bahkan cobaan dari yang kuasa adalah modal yang baik untuk mendewasakan kita menjadi manusia. Saat ini saya bekerja sebagai Sistem Analyst di OCBC Nisp  seperti motto perusahaan ini #TAYTB "Tidak Ada Yang Tidak Bisa" begitu juga liku kehidupan keluarga saya, semua pasti bisa selama ada usaha dan doa serta dukungan keluarga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun