Mohon tunggu...
Andreas Tricahyadi
Andreas Tricahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penggiat Kegiatan Alam Bebas

Segala hal yang berhubungan dengan humanisme

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyingkap Identitas Diri dengan Vipassana

7 Juli 2022   14:43 Diperbarui: 7 Juli 2022   14:51 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengalaman sepuluh hari kursus vipassana memberi saya pengetahuan mendalam tentang kehidupan. Kursus yang saya ikuti ini merupakan tradisi pengajaran S.N. Goenka yang diturunkan dari Sayagi U Ba Khin dan dari guru-guru terdahulu hingga pada sumbernya 2.500 tahun yang lalu yaitu Sang Buddha Sidharta Gautama. Ajaran ini tetap terjaga dalam bentuk murninya, yaitu terlepas dari label sekte atau agama tertentu. Inti ajarannya berada pada kata "Dharma" yang artinya 

"alam atau sifat dari apa yang ada di pikiran."

 

Pikiran adalah unsur penting dalam diri manusia yang sangat kuat dan berpengaruh besar. Bila pikiran dimanfaatkan dengan baik, maka hasilnya akan sangat bermanfaat. Akan tetapi, manusia semenjak usia dini memperoleh banyak pembelajaran akan rasa, sebagai hasil interaksi dari berbagai objek yang dijumpainya. Terlebih bagi yang tinggal di wilayah perkotaan, terdapat objek-objek yang lebih bermacam-macam dibanding dengan daerah pedesaan, sehingga lebih banyak rasa yang didapat. Rasa itu kemudian memunculkan reaksi yang berbeda-beda pada setiap orang, ada suka, candu, senang, rakus, sedih, marah, benci, cemas, gelisah. Reaksi-reaksi itu melekat, tersimpan dalam ingatan, menjadi sebuah watak, sifat pribadi yang khas.

 

Dalam pikiran, ingatan akan rasa dan reaksi itu seringkali muncul walaupun objek terkait tidak dijumpai. Misalkan, teringat akan lezatnya makan baso kuah panas dan timbul keinginan untuk merasakannya kembali, atau teman kerja yang menyebalkan dan timbul rasa marah ketika mengingatnya. Disamping ingatan akan rasa yang sering muncul tersebut, objek-objek nyata yang dihadapi saat itu juga menambah rasa dan reaksi yang diproses dalam pikiran. Pikiran terus berputar, bahkan saat santai duduk di sofa sambil menonton televisi atau main hp pun bisa dibilang sebuah pekerjaan bagi pikiran. Sebab pikiran terus disuguhi oleh informasi-informasi dan iklan-iklan yang ditayangkan. Pikiran tanpa henti menerima masukan dan stimulus, di sepanjang jalan pun terpampang banyak objek, seperti papan-papan iklan, kuliner-kuliner lezat, produk-produk tersier, dan lain-lain. Alhasil, manusia semakin mengingini dan menyukai banyak hal demi kebahagiaan dan kenyamanan dirinya.

 

Selain rasa mengingini di atas, bisingnya kota, macetnya lalu lintas, kendaraan yang saling seruduk, tekanan kerja di kantor, diperlakukan kurang sopan, hal-hal tersebut bisa menjadi sumber yang tidak disukai. Hal-hal yang diinginkan tapi tidak tercapai pun bisa menjadi sumber emosi-emosi negatif. Semua beban pikiran tersebut menjadi tekanan yang terus menumpuk dan berlipat ganda. Hidup menjadi depresi dan menderita.

 

Bila kita renungi hidup ini, apa sebenarnya yang terbaik bagi hidup? Dari tekanan dan tegangan yang didapat sehari-hari dan oleh gaya hidup yang sudah terkondisikan sedemikan rupa. Kehidupan yang tersusun dalam konsep tertentu yang mengutamakan pencarian akan materi. Konsep kehidupan yang memfokuskan diri kita untuk mengembangkan hal-hal diluar diri kita dan kurang memperhatikan apa yang ada di dalam diri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun