Mohon tunggu...
Andreas Kristianto
Andreas Kristianto Mohon Tunggu... -

Andreas Kristianto adalah seorang pejuang kemanusiaan, karena baginya manusia adalah gambar dan rupa Allah. Siapa yang mencintai kemanusiaan, dia juga mencintai Allah yang memberi kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gusdur dan Imago Dei

16 Juli 2014   20:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:09 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Gusdur dan Martabat Kemanusiaan

Gusdur adalah perwujudan hidup Allah. Dia datang menjadi manusia, memiliki rasa ketersambungan yang terus-menerus bersama Allah (tauhid). Tidak heran, bagi saya tindakan yang dilakukan Gusdur tidak hanya dorongan sosial semata, melainkan perwujudan rasa Illahi yang terpancar mekar dihatinya. Dia juga berjalan, bergerak, menyentuh hati manusia, tertawa dengan joke-nya ‘gitu aja kok repot’, serta dia juga melindungi orang yang tidak mampu melindungi dirinya sendiri. Masih ingat kasus Ahmadiyah, orang Tionghoa, dan kelompok-kelompok minoritas yang mendapatkan pembelaan dirinya. Tindakan Gusdur membela yang lemah dan tertindas berasal dari kerinduan dan keberserahan pada Allah.

Gusdur sering memperjuangkan bagi terwujudnya penghormatan hak-hak asasi manusia. Perjuangannya itu dilakukan dengan setulus hati. Baginya ia adalah akar bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Jika terjadi pelecehan terhadap manusia, seringkali Gusdur dengan tegas mengatakan bahwa ia juga melecehkan Allah. Apalagi di Indonesia sekarang makin banyak orang pergi ke luar negeri dan mereka bisa dilecehkan dan bahkan sampai diperkosa. Termasuk juga peristiwa GKI Yasmin, Peristiwa Sampang Madura, peristiwa bom, ahmadiyah dll. Hari lahirnya Gusdur yang akan diperingati tanggal 4 Agustus menggugah setiap kita untuk bergumul kembali soal ke-sesama-an.

Menjadi persoalan adalah semula bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, dan mempraktekan kerukunan autentik kok sekarang menjadi bangsa yang beringas? Dibiarkan begitu saja, kelompok radikal bisa muncul di Indonesia. Gusdur sangat mencintai kemanusiaan karena baginya manusia adalah adalah ciptaan yang pantas untuk dihormati. Sebagaimana kita membaca jejak karya Gusdur bagaimana tindakannya selalu ditujukan kepada perlindungan terhadap manusia. Hal tersebut tercermin melalui cinta kasihnya bagi manusia dan kemanusiaan. Ia tak memikirkan dirinya sendiri. Ia memiliki sumber inspiratif Illahi dan al-Quran. Ia selalu ingin agar manusia dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya sebagai imago Dei (gambar Allah). Manusia adalah setara di hadapan-Nya. Sehingga, pengingkaran terhadap kemanusiaan, maka disitulah juga pengingkaran terhadap Allah.

Menelusuri Teologi Imago Dei

Pandangan gusdur mengenai kemanusiaan, ternyata juga dihayati oleh dunia Kekristenan. Ide itu lahir dari kitab Kejadian 1:26 yang berbunyi, “Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Ide tentang imago Dei merujuk kepada gambaran Allah di dalam manusia. Melalui tindakan aktif Allah, manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Imago Dei merepresentasikan persamaan martabat manusia yang terkoneksi langsung dengan sang Pencipta. Tentu, setiap manusia dihargai secara hakiki oleh Allah karena dia adalah ciptaan-Nya. Allah telah menganugerahkan gambar-Nya kepada manusia, tentu di dalamnya terdapat relasi mutual antara manusia dengan Allah. Tetapi, problem yang dihadapi adalah relasi tersebut telah rusak oleh realita rasialisme, penindasan dan kekerasan antar manusia satu dengan lainnya.

Realitas dunia yang diwarnai dengan perselisihan, pertengkaran dan kekejaman antar manusia satu dengan manusia lainnya bukan hanya menjadi persoalan sosial saja, tetapi justru ini menjadi problem spiritual. Ini bermula dengan anggapan bahwa ketika manusia diciptakan oleh Allah, di sana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang dipilih secara khusus dan merepresentasikan kehadiran Allah. Pandangan ini tidaklah salah 100 persen, tetapi berdampak kepada otoritas yang eksploitatif tentang citra diri-Nya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa saja terjadi dilakukan oleh manusia. Ketika Allah memilih manusia, bisa dimungkinkan aspek superioritas Illahi menjadi legitimasi manusia melakukan kekejaman atas nama Allah. Oleh sebab itu, kelompok-kelompok yang termarginalisasi (korban penindasan) merefleksikan bahwa adanya distorsi relasi antara manusia dengan Allah.

Ide Imago Dei menempatkan manusia untuk dihargai dan dihormati sebagaimana Tuhan menghormatinya sebagai imago Dei (gambar Allah). Manusia adalah setara di hadapan-Nya. Sehingga, pengingkaran terhadap kemanusiaan, maka disitulah juga pengingkaran terhadap Allah. Akhir-akhir ini, komunitas agamapun bisa bertindak anarkis dengan semena-mena. Di sana-sini meledak kekerasan yang mengancam hak hidup kaum minoritas. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana kita memahami relasi imago Dei di antara manusia dengan Allah?Bagaimana kita menempatkan manusia sesuai dengan citra-Nya?

Dalam tradisi Yudeo-Kristen, manusia dikenal dengan istilah imago Dei yaitu gambar dan rupa Allah, sedangkan agama Islam memandang manusia sebagai al-Insan al-Kamil (manusia sempurna), sesuai teks Al-quran yang mengatakan “Tuhan menciptakan Adam dalam citra-Nya. Ada perjumpaan antara manusia dan Allah di dalam citra-Nya. Manusia adalah mahkota dan pusat dari segala ciptaan, oleh sebab itu memimjam istilah Emmanuel Levinas yang mengungkapkan bahwa melihat wajah (gambar) Allah, mengajak manusia untuk melihat wajah sesama. Ada relasi yang bersifat transenden dan imanen antara Allah dengan manusia. Oleh sebab itu, manusia mesti dijaga, dihormati, dihargai dan diutamakan karena segambar dan serupa dengan Allah.

Apabila kita menggali secara lebih mendalam, manusia memiliki dimensi roh Ilahi yang dihembuskan-Nya. Tradisi Islam menyebutnya bahwa manusia memiliki jiwa rabbani. Sesuai dengan QS 32:7-9 yang mengungkapkan bahwa ‘manusia diciptakan dari tanah, lalu Allah, lalu Allah menjadikan proses keturunan-Nya dari air mani dan yang lebih hebat lagi, disempurnakanlah dengan ditiupkan roh-Nya ke dalam diri manusia. Artinya, manusia memiliki jiwa insani (human soul) dan jiwa rabbani (divine soul). Keterpaduan antara yang insani dan rabbani dapat terciptanya manusia yang otentik (luhur dan mulia). Kejadian 1 : 26 juga berbicara soal imago Dei (gambar dan rupa Allah). Yang menempatkan manusia sebagai ciptaan yang paling unggul dari ciptaan lain-Nya.

Realitas Logosentrisme dan Jargonsentrisme

Jika kita menyimak realitas kehidupan beragama masyarakat Indonesia, maka fenomena yang seringkali muncul adalah mentalitas logosentrisme atau jargonsentrisme. Istilah yang dipinjam dari kritik filsafat postmodern atau gaya berpikir modern yang menunjuk pada realitas kehidupan beragama yang sebenarnya sangat kaya tetapi serta merta menjadi miskin karena dilogokan atau dijargokan. Terbukti dengan semaraknya kehadiran kelompok-kelompok garis keras. Kelompok ini sangat menekankan penghayatan iman yang logoistis. Logo atau Jargon dapat berupa suatu model pakaian (warna putih, merah, hitam, seperti ninja dan seringkali menunjukkan show of force bagi masyarakat lain dan dapat juga berupa aneka peralatan perkelahian (seperti pedang, clurit, samurai, senapan, palu dll). Maksudnya, Allah dipandang sebagai logo atau jargon yang menjadi penghayatan imannya.

Kelompok yang menekankan logo dan jargon ini mengungkapkan relasinya kepada Allah sebagai suatu relasi yang militeristik. Sehingga model pemahaman ini menyebabkan kehidupan beragama menghadirkan ketakutan, kengerian, ketidak-simpatikan terhadap agama yang bersangkutan. Paradigma ini berhubungan erat dengan aktivitas teroristik (tindakan yang menimbulkan teror-teror atau ketakutan). Biasanya ungkapan yang dilontarkan adalah “Barang siapa menghina Allah, biar berhadapan dengan kami”. “Barang siapa merusak rumah ibadahku atau menyakiti saudara-saudaraku yang seagama, kami akan mengobarkan perang suci atau kami siap berjihat atau siap menjadi martir.”

Bahasa-bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengandung provokatif, dan pengikut kelompok sangat begitu yakin bahwa Allah dapat marah seperti layaknya manusia yang juga cepat marah. Pandangan ini juga percaya bahwa Allah gampang menaruh dendam seperti manusia yang mudah sekali menaruh dendam terhadap sesama yang lain. Dengan demikian, “kekerasan” yang bersifat eksklusivisme hidup beragama juga menyentuh soal penggunaan “bahasa” atau terminologi penghayatan hidup beragama. Logosentrisme atau jargonsentrisme adalah mentalitas atau cara berpikir yang terkurung dalam paradigma-paradigma yang disebut binary oppositions, seperti baik-buruk, suci-kafir, benar-salah, asli-palsu, subjektif-objektif dan seterusnya. Binary oppositions adalah pola pikir yang mengajukan kutup-kutup hitam putih mengenai kehidupan. Tentunya, dengan pola pikir seperti ini komunitas lain yang berbeda dipandang sebagai musuh dan berkarakter eksklusif. Oleh sebab itu, cara hidup beragama tidak hanya sekedar formalisme ritual saja, tetapi dibutuhkan penghayatan spiritual yang mendalam dengan Allah. Termasuk penghayatan tentang ide Imago Dei atau al insal al kamil, yang di dalamnya mengandung refleksi mengenai siapakah manusia di dalam relasinya dengan Allah menurut citra-Nya.

Penutup

Akhir kata, Gusdur adalah salah satu sosok yang memperjuangan manusia sebagai imago dei (gambar dan rupa Allah). Dia sangat menekankan manusia sebagai citra-Nya, manusia yang memiliki martabat kemanusiaan. Manusia yang memiliki nafas Illahi yang sempurna (al-insan al kamil). Tentu, kita sebagai generasi penerus Gusdur perlu untuk memperjuangankan semangat mencintai manusia secara hakiki menuju hidup yang damai. Soli Deo Gloria

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun