Mohon tunggu...
ANDREAS SUPRONO
ANDREAS SUPRONO Mohon Tunggu... Menyukai Kebenaran dan Keadilan

Orang biasa, melihat dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Kita Antara Ideal dan Realita, Tangis yang Lucu, Tawa yang Menyakitkan

10 Juni 2025   14:50 Diperbarui: 13 Juni 2025   13:01 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Kita; Antara Ideal dan Realita, Tangis yang Lucu, Tawa yang Menyakitkan (Sumber: pexels.com)

Pendidikan di Indonesia, hari ini, sedang berada di persimpangan jalan. Ada begitu banyak hal yang membingungkan, memprihatinkan, dan di saat yang sama, kadang bikin kita tertawa miris. Karena kadang, satu-satunya cara agar kita tidak gila menghadapi kenyataan adalah dengan menertawakannya. Iya, menertawakan nasib pendidikan kita sendiri.

Dulu, kita sering dengar kalimat, "Pendidikan itu bukan sekadar mengajar, tapi mendidik." Kalimat yang tampaknya sederhana, tapi sangat dalam. Tapi sayangnya, semakin hari, pendidikan seolah semakin bergeser dari esensinya. Lembaga pendidikan lebih sibuk mengajar, memberi informasi, menjejalkan teori, mengejar kurikulum, tanpa benar-benar mendidik. Tanpa membentuk manusia seutuhnya. Seolah tugas pendidikan hanyalah mencetak robot yang bisa menjawab soal, bukan manusia yang bisa berpikir, merasa, dan bertindak dengan nilai.

Lucunya, semakin hari, sekolah malah terasa seperti perusahaan. Apalagi sekolah swasta. Sibuk promosi, bikin brosur yang isinya lebih heboh dari iklan skincare. Ada yang sampai bilang, "Sekolah kami punya kolam renang, AC di semua ruang kelas, lab komputer berstandar internasional!" Tapi, adakah jaminan bahwa semua itu mendidik anak menjadi pribadi utuh yang kuat dan bijaksana? Tidak. Karena mendidik bukan soal fasilitas, tapi soal relasi.

Masalahnya memang kompleks. Sekolah hari ini dipaksa jadi dua hal yang sangat berbeda sekaligus: lembaga bisnis dan lembaga pendidikan. Di sinilah akar kegagalannya. Ketika sekolah harus mikir target pemasukan dan jumlah murid yang diterima agar bisa bertahan hidup, maka idealisme mendidik pun pelan-pelan tergerus. 

Sudah saatnya urusan mencari murid dipisahkan dari urusan mendidik murid. Dua hal itu tidak setara, tidak sepaham, dan sering saling mengganggu. Harus ada dua devisi: satu divisi pemasaran yang profesional, satu divisi pendidikan yang idealis. Biar tidak saling membebani.

Karena mendidik butuh jiwa. Butuh waktu. Butuh perhatian. Dan yang lebih penting: butuh orang yang benar-benar berkualitas. Tapi sayangnya, proses penyaringan sumber daya manusia di sekolah juga sering asal-asalan. Yang penting ada, yang penting murah, yang penting bisa datang. Padahal, guru bukan sekadar profesi. 

Guru adalah fondasi bangsa. Salah satu dari sedikit profesi yang bisa menyentuh masa depan tanpa harus berada di sana. Tapi bagaimana kalau orang yang menyentuh masa depan itu tidak layak menyentuh bahkan masa kini?

Sudah waktunya Indonesia berefleksi. Sudah hampir 100 tahun kita merdeka, tapi pendidikan kita masih terus mencari bentuk. Setiap ganti menteri, ganti kurikulum. Setiap ganti tahun, ganti format ujian. Sementara masalah dasarnya tidak berubah. Pendidikan yang tidak menyentuh hati. Sistem yang tidak menyentuh akal sehat. 

Kita butuh pemimpin yang paham pendidikan bukan hanya dari teori, tapi dari pengalaman, dari empati. Kita butuh orang-orang baik, yang pintar sekaligus bijaksana. Tapi di mana mereka? Ke mana perginya suara-suara jernih, yang murni? Yang tidak terjebak dalam politik anggaran dan kepentingan?

Lucunya lagi, tanggung jawab pendidikan juga dilempar ke mana-mana. Sekolah menyalahkan orang tua, orang tua menyalahkan sekolah. Pemerintah menyalahkan guru, guru menyalahkan sistem. Anak? Disuruh diam dan menerima nasib. Padahal, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama. Ayah dan ibu adalah guru pertama. Tapi kalau ayah ibunya sibuk sendiri, sibuk bermain ponsel, sibuk kerja sampai lupa rumah, lalu siapa yang menanamkan nilai? Apa gunanya sekolah kalau pondasi rumahnya rapuh?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun