Mohon tunggu...
Andreas Neke
Andreas Neke Mohon Tunggu... Guru - Pegiat media sosial

Andreas Neke lahir di Sobo (Mangulewa) pada 08/03/80. Pendidikan Dasar di SDI Waruwaja. Pendidikan Menengah di SMPN 2 Bajawa dan SMAN Bajawa. Selanjutnya ke Seminari KPA St. Paulus Mataloko (2 tahun) , dan Pendidikan Calon Imam Kapusin (OFM Cap) di Sibolga (1 tahun), Parapat (1 tahun) , Nias (1 tahun), STFT St. Yohanes Pematangsiantar (4 tahun), TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius Ndondo (10 bulan), serta Pasca Sarjana (2 tahun). Pernah mengajar di SMA St. Clemens Boawae (2010-2017). Saat ini mengajar di SMK Sanjaya Bajawa. Aktif menulis opini di HU Flores Pos. Sudah menulis 2 buah buku yang berjudul REMAJA DAN PERGUMULAN JATI DIRINYA dan IMAN YANG MEMBUMI. Tinggal di Padhawoli, Kel. Trikora, Bajawa, Flores, NTT.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belis di Persimpangan Budaya dan Tradisi

22 Januari 2025   06:51 Diperbarui: 24 Januari 2025   19:56 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hewan belis untuk keluarga calon pengantin perempuan (Dok. Argo Twikromo)


Kita masih dalam pembicaraan dan pembahasan yang panjang tentang Pratu AT (24) yang telah mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Dia diduga bunuh diri karena tidak mampu memenuhi keinginan calon mertua yang meminta mahar nikah sebesar Rp. 250. 000. 000.

Pada tempat pertama saya tidak hendak memberikan penilaian atas kasus ini, tetapi lebih dari itu adalah pembahasan tentang BUDAYA dan TRADISI BELIS, yang kiranya patut mendapatkan perhatian lebih lanjut, agar konsep tentangnya dapat benar-benar dipahami dengan tepat agar selaras zaman.

Ini akan sangat penting supaya praksis budaya tidak serta merta diterima dan dihayati sebagai sebuah kebenaran tunggal dan mutlak, seolah-olah "melanggarnya" berarti akhir dari segala-galanya. Sementara itu banyak orang akan dengan mudah menyimpang dari norma agama dan norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Kita kiranya perlu mencermati semuanya secara bijak agar tidak salah kaprah dalam perealisasiannya.

Kebudayaan: Hasil Budi Manusia

Budaya merupakan hasil pikiran/akal budi manusia. Hasil pemikirannya membuat manusia dapat berkembang, beradab, dan maju. Atau secara sederhana dapat dirumuskan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan akal budi, yang mencakup di antaranya kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.

Ilmu antropologi merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kebudayaan memiliki tiga unsur, (1) ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya, (2) kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia, dan (3) benda-benda hasil karya manusia.

Harus dipahami bahwa kebudayaan selalu bersifat relatif dan subyektif. Kita akan salah menilai suatu kebudayaan tertentu dalam konsep budaya kita sendiri, dan sebaliknya. Ini artinya bahwa kebudayaan merupakan perspektif subyektif menurut suatu kelompok masyarakat tertentu, dan tentunya akan berbeda dengan cara pandang kelompok masyarakat lainnya. Apa yang dianggap positif oleh kelompok masyarakat tertentu, bisa saja akan dianggap negatif oleh kelompok masyarakat lainnya.

Kebudayaan juga dapat berubah menurut perkembangan zaman. Kebudayaan bertumbuh dalam proses belajar yang berlangsung sepanjang hayat (life-long learning process). Di sini dapat berarti bahwa budaya seharusnya bersifat kontekstual, yang berarti harus selaras zaman. Bentuk dan penghayatannya bisa berubah menurut perkembangan zaman yang dihadapi manusia.

Dalam konteks ini saya harus mengatakan bahwa para leluhur dari berbagai suku/bangsa adalah orang-orang cerdas. Alasan mendasarnya adalah mereka mampu menggunakan akal budi secara cermat dan bijaksana dalam menjawab seluruh persoalan hidup mereka, dengan segala hal yang telah dihasilkannya baik dari segi ide, tindakan, maupun benda-benda hasil karya mereka.

Situasi pada masa lampau ketika semuanya diciptakan pasti berbeda dengan kondisi masa kini. Para leluhur telah mampu melahirkan jawabannya melalui kebudayaan yang telah mereka ciptakan, lantas bagaimana dengan manusia zaman ini? Apakah sudah mampu menciptakan budaya adaptif menurut perkembangan zaman?

Kita sebagai bangsa Indonesia akan bangga menyebut diri sebagai makhluk berbudaya. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah yang telah kita hasilkan untuk menjawab tuntutan zaman ini berkaitan dengan konteks kebudayaan kita masing-masing. Jika praksisnya masih sama seperti pada masa lampau atau bahkan terdegradasi nilainya berarti kita belum menjadi makhluk berbudaya, karena akal budi kita belum mampu menghasilkan apa-apa untuk menjawab perkembangan zaman ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun