Mohon tunggu...
Andreas Sihotang
Andreas Sihotang Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan Pekerja Sosial

Pekerja sosial di organisasi non pemerintah, bekerja di bidang pengembangan masyarakat dan pengembangan perdamaian, saat ini sedang studi S3 Public Affairs di Amerika.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik Banjir

26 Februari 2020   23:01 Diperbarui: 26 Februari 2020   23:13 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banjir yang bertubi-tubi melanda ibu kota negara Indonesia saat ini membuat miris. Saya bukan warga Jakarta. Saya juga tidak mempunyai rumah di Jakarta. Tapi saya ikut merasa miris menyaksikan banjir yang melanda Jakarta. Terbayang kalau rumah saya yang terendam banjir. 

Terbayang juga berapa banyak kerugian yang sudah diakibatkan oleh banjir ini. Barang-barang di dalam rumah, kendaraan, peralatan elektronik, peralatan di rumah sakit yang terendam air banjir kemungkinan tidak bisa digunakan lagi. Belum lagi waktu yang terbuang untuk perjalanan pergi pulang kantor dan untuk membersihkan rumah. Banjir ini tentu menguras waktu, tenaga, pikiran, dan uang. 

Tetapi yang lebih membuat miris, tidak terdengar berita tentang antisipasi dan penanganan banjir oleh pemerintah propinsi DKI. Ke mana mereka? Seperti tidak ada gerakan. Pasrah menunggu banjir surut? Pasrah menunggu sampai musim hujan pergi? Pasrah menunggu nasib? 

Lalu apa gunanya mereka, terutama gubernur, deputi gubernur dan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan yang berjumlah 74 orang dan dibayar mahal dengan uang negara itu? Sama sekali tidak terdengar dan terlihat apa yang dikerjakan mereka!

Saya mau memberikan sedikit perbandingan, walaupun mungkin agak berbeda konteksnya. Di banyak wilayah di Amerika, salah satu masalah tahunan adalah badai salju, atau salju yang turun dengan intensitas tinggi. 

Beberapa hari sebelum salju dengan intensitas tinggi itu turun, masyarakat sudah tahu tentang itu dari perkiraan cuaca, yang disampaikan juga oleh media dan pemerintah setempat. Sekolah bahkan diliburkan untuk mitigasi resiko, jika salju akan berdampak pada jalanan yang licin atau suhu yang terlalu dingin. 

Lalu setelah salju datang, mobil-mobil pengeruk salju sibuk lalu lalang membersihkan salju di jalanan, dan mesin-mesin penghancur salju membersihkan trotoar, lalu petugas-petugas kota dll menyiram garam untuk mencairkan salju. 

Saat orang-orang menghindari cuaca dingin dan jalanan licin, para petugas kota sibuk membersihkan salju di jalan dan trotoar untuk keamanan pejalan kaki dan pengendara mobil. Entah berapa anggaran yang disediakan pemerintah kota untuk itu. Terlihat jelas ada upaya dan tindakan untuk mengantisipasi dan mengatasi salju dengan intensitas tinggi. 

Lalu bagaimana dengan antisipasi dan penanganan banjir di Jakarta? Apakah pemda tidak tahu akan adanya hujan dengan intensitas tinggi? Apakah kurang peralatanan dan petugas? Apakah kurang anggaran? Apakah tidak punya ide untuk antisipasi dan penanganan? Apakah tidak punya kemauan bekerja? Apakah tidak punya kemampuan bekerja? Sungguh tidak jelas. 

Mungkin pemimpinnya berpikir, "masyarakat sudah biasa dengan banjir, mereka akan memakluminya, toh bukan salahku, tapi salah cuaca. Nanti mereka juga akan melupakan peristiwa ini dan akan tetap memilihku. Selalu ada cara untuk memanipulasi mereka." Yang terlihat kasat mata adalah alasan demi alasan yang disampaikan untuk pembenaran bahwa banjir memang sudah ditakdirkan, alasan yang bisa disampaikan oleh siapa saja, termasuk oleh seorang anak SD kalau dia memimpin Jakarta. 

Salah satu teori dalam politik adalah "blaim avoidance", bahwa para pejabat yang dipilih rakyat sebenarnya lebih sibuk menghindari untuk disalahkan daripada melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat, karena kesalahan biasanya lebih mudah diingat masyarakat daripada prestasi. Banjir ini kemudian menjadi politik 'blaim avoidance'. 

Tapi di Indonesia, tanpa 'blaim avoidance' pun, pamor pemimpin yang tidak becus dalam bekerja dan yang korup sepertinya tidak tergerus. Sudah banyak bukti seperti itu. Pemilu diadakan sebagai salah satu mekanisme akuntabilitas. Tapi di banyak daerah di Indonesia termasuk DKI Jakarta yang jauh lebih maju dari daerah lainnya, pemimpin buruk pun tetap terpilih. 

Lalu bagaimana cara kita mendapat pemimpin yang akuntabel dan responsive terhadap berbagai permasalahan warga? Banjir di jakarta mungkin belum akan berakhir. Yang jelas pasti akan ada hujan dengan intensitas tinggi lagi dalam hari-hari dan tahun-tahun mendatang. 

Apakah ada yang berubah dari upaya antisipasi dan penanganan banjir? Apakah ada yang berubah dari preferensi masyarakat, terutama di Jakarta, dalam memilih pemimpinnya? Mari kita lihat dalam 1-2 tahun ke depan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun