Saya ini berfoto di Cinde. Beberapa meter dari makam Mbah Cinde Prajurit Kulon. Mengapa tidak di spot makam Mbah Cinde?
Yaaa...saya harus menghormati makam, lah....masak berfoto di makam dengan pose seperti ini.
Setelah Jayanegara wafat karena diracun, Ibukota Majapahit pindah ke Trowulan. Pusat pemerintahan di Trowulan dengan Istana dan kota modernnya. Untuk keluarga istana, tinggal di Puri dan kantor pemerintahan terdapat di bangsal.
Untuk mengamankan itu, disiapkan kesatrian di seluruh penjuru mata angin. Ketinggian tentunya yang terbaik. Gunung welirang menjadi penjaga utama di Selatan yang dulu disebut dengan Daksina.
Langit jernih karena saat itu belum ada pencemaran pabrik dan kendaraan bermotor, ya...beniiing terlihat Trowulan, Mojokerto, Mojosari (saat itu belum ada ya) dari atas. Sehingga pergerakan apapun dapat dipantau.
Bagian Uttara alias utara di daerah ibukota lama yaitu Tarik yang sekarang menjadi Tjiwi Kimia.
Nah ini....
Bagian Prva atau timur berada di watukosek dengan gunung perahunya. Jelas sejak dulu daerah ini sangat strategis. Gunung perahu dibuat sebagai tempat pengintai. Dengan beberapa spot kesatrian yang sekarang dipakai menjadi Pusdik Brimob. Dulu bahkan lebih luas lagi.
Tempat ini akhirnya diteruskan oleh Belanda dan juga dimuktakhirkan oleh Jepang dengan merestorasi gua-gua tempat logistik Majapahit.
Spot pengintaian berada di puncah gunung perahu.Â
Saat Belanda bersiap menghadapi serangabn Jepang, tempat ini dijadikan Instalasi militer untuk pertahanan udara. Eh, sebelum digunakan kok menyerah dulu....Jadinya tempat ini dikuasai Jepang juga untuk militer. Saat kemerdekaan tempat ini tetap dipakai untuk pengintaian...yang diintai adalah Iklim dan cuaca dan dikelola oleh LAPAN.
Terakhir adalah yang ingin saya ceritakan. Kecamatan Prajurit Kulon karena dari Prajurit Kulon.
Saat itu tempat yang saya pakai berfoto ini adalah pinggiran sungai Brantas. Sungai Brantas waktu itu sangat luas, mulai sebelum rel kereta hingga Ajinomoto seperti yang dicatat oleh Ma Huan dari China.