(Apakah ET Tidak Paham Konsep Holding?)
Sentilan Erick Thohir terhadap Telkom memicu persoalan strategis pada sejumlah holding BUMN. Sebab, sejatinya, dalam  5 tahun terakhir ini presiden Joko Widodo telah mengarahkan menteri BUMN agar membentuk holding sesuai dengan blue print awal yang dirancang Tanri Abeng.
Tanri Abeng adalah menteri BUMN pertama yang ditugaskan Soeharto untuk meremajakan BUMN.
Resiko Menjadi Holding
Resiko yang paling utama sudah jelas, induknya tak akan sebesar anak-anaknya. Namanya juga holding. Itu sama dengan kapal induk. Dia bukan holding operasional walaupun awalnya operasional. Lama-lama ia melebur menjadi pengatur yang hanya mengelola aset-aset BUMN, menerapkan langkah-langkah strategis.
Coba kita tengok Inalum. Setelah jatuh tempo dan pihak Jepang keluar, produsen pelebur alumunium ini 100% menjadi BUMN di bidang tambang. Tetapi saat menjadi holding, maka dia harus "menelan" perusahaan-perusahaan yang lebih basar dari dirinya, yaitu PT Timah, PT Aneka Tambang, PT Bukit Asam dan terakhir PT Feeport Indonesia.
Bayangkan rumitnya pengelolaan Inalum yang harus mengurus operasi peleburan aluminium  sambil mengurus perusahaan-perusahaan besar tambang lainnya. Lalu datanglah menteri BUMN baru  (ET) yang biasa urus sepak bola dan persuratkabaran. Dia pasti akan bilang, "payah ini Inalum, bubarkan saja. Masa pendapatan PT Bukit Asam dan Pt Freeport Indonesia sebesar 60% dari pendapatan induknya? Kaya Telkom dan Telkomsel saja. Lebih baik Freeport dan Bukit Asam saja yang menjadi BUMN."
Begitulah sentilan tak bergizi dan kurang wawasan. Saya sarankan pak menteri belajar dulu sejarah BUMN, Visi Presiden dan perholdingan, dan hargai pendahulu-pendahulunya dan hormati keputusan atasannya, yaitu presiden RI yang sudah membentuk holding sebelum ET menjadi ketua TKN.
Mengelola BUMN itu tak cukup berbekal jurkam pilpres atau urus entertainment.
Pupuk Indonesia dan Danareksa
Kini resiko sentilan serupa mengancam kepada sejumlah holding yang tidak lagi operasional.