"Ok, kita sepakat penggunaan AC kita batasi!"
Begitulah hasil rembug keluarga kami, ketika sadar bahwa salah satu pengeluaran cukup besar adalah konsumsi listrik. Sah, resmi dan kami pun saling menaati.
Sebelum itu, dua kamar sama-sama "menguras" listrik. Memang seharian dingin, namun tanpa sadar lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaat. Sebab, kadang kamar-kamar itu juga tidak sedang dihuni. Terutama ketika berkumpul di ruang tengah.
Maka muncullah kebiasaan baru. Jendela kamar lebih sering terbuka nyaris seharian. Udara jadi lebih kerap masuk, menjaga sirkulasi agar tetap dingin, sejuk dan sehat.
Hari-hari awal tinggal di rumah sejak kami "diliburkan" mendadak membuat tingkat konsumsi lebih tinggi dari biasanya. Termasuk soal makanan, tingkat jajan menggunaan aplikasi pesan antar meningkat.
Maklum saja, dari biasanya lebih sibuk di kantor atau kampus, kemudian berpindah di rumah. Tanpa sadar pengeluaran semakin bertambah.
Dari soal listrik itu pula kami mulai belajar mengatur keuangan. Ya, keuangan menjadi amat vital di tengah pandemi yang entah kapan berakhir.
Selain menjaga hidup lebih bersih dan sehat, keuangan faktor berikutnya untuk menjaga agar ekonomi keluarga kami tak jebol suatu hari kelak.
Prinsipnya berhemat dan bersiasat. Intinya menjaga stabilitas sistem keuangan inti, yaitu keuangan keluarga. Dan, semuanya dimulai dari bagaimana kami cerdas berperilaku.
Perilaku tidak lagi mengumbar hasrat menonton film terbaru di bioskop. Perilaku doyan kuliner yang membuat tubuh justru menumpuk lemak. Hingga perilaku beli ini-itu yang ternyata tak diperlukan lagi. Contohnya, pakaian baru. Toh, kami tidak lagi sering keluar untuk pertemuan atau berpenampilan bagus.
Di rumah, kami tetap bekerja seperti biasa. Anak kami juga beraktivitas sewajarnya. Kuliah on-line tetap jalan. Jaringan internet harus terus hidup jika sudah begini.