Mohon tunggu...
Ando Prananda
Ando Prananda Mohon Tunggu... Lainnya - Learner

Urban Tourism Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

The City of Philosophy, Menilik Revitalisasi Malioboro

20 Maret 2020   18:20 Diperbarui: 20 Maret 2020   18:40 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harmoni PKL dan Pedestrian | dokpri

Malioboro sudah sejak lama menjadi ikon wisata andalan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), bagi wisatawan dari luar daerah belum berkunjung ke Malioboro artinya belum dikatakan sah untuk berwisata di DIY. Malioboro bagi wisatawan sangat istimewa karena faktor-faktor istimewanya. Berbicara tentang pariwisata, Malioboro tidak dapat dilepaskan dari pembangunan pariwisata di Dareah Istimewa Yogyakarta. 

Berdasarkan wawancara penulis dengan Wakil Penghageng Tepas Tanda Yekti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (8 Oktober 2019), KPH Yudahadiningrat, Malioboro adalah “ruh” dari Kota Yogyakarta. Beliau mengungkapkan kalau Malioboro kehilangan jiwa aslinya, Yogyakarta juga akan hilang jiwa istimewanya.

Melihat sejarah berdirinya, Malioboro kental akan makna filosofis. Menurut Yudahadiningrat (wawancara pribadi, 8 Oktober 2019), Malioboro dibangun pada awal pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I (selanjutnya disebut sebagai Sultan HB I). 

Pada tahun 1755, Sultan HB I ingin membangun kesultanan yang rakyatnya makmur dan sejahtera di seluruh bidang. Oleh karena itu, Sultan HB I memilih untuk membangun pusat kesultanannya di pusat wilayah, yang kemudian direncanakan sebuah garis imajiner sebagai sumbu filosofis Yogyakarta.

Dari sumbu tersebut, Sultan HB I mulai membangun titik-titik strategis pemerintahan (Yudahadiningrat, wawancara pribadi, 8 Oktober 2019). Titik-titik tersebut adalah Masjid Gede Kauman sebagai pengembangan dan pusat kajian spiritual berada, Alun-alun sebagai pusat kegiatan dan rekreasi masyarakat berada, dan Pasar Beringharjo sebagai cikal bakal kawasan Malioboro untuk pusat perekonomian rakyat. 

Dari sini, Sultan HB I sudah memproyeksi bahwa kawasan Malioboro akan menjadi pusat perkembangan perekonomian di Yogyakarta. Gagasan tersebut menjadikan Malioboro disebut sebagai ruhnya Kota Yogyakarta.

Berbagai langkah telah dilakukan untuk membangkitkan ruh dari Malioboro. Menurut Sekretaris Daerah DIY, Saptadi (via Kompas, 20 September 2018), Malioboro akan segera kembali ke masa lalu seperti awal mula Keraton Yogyakarta berdiri, yaitu penuh riuh oleh pejalan kaki. Pemerintah DIY berusaha melakukan harmonisasi antara pejalan kaki dan hiruk pikuk pedagang kaki lima dengan cara mengosongkan trotoar Malioboro. Hak trotoar bagi pejalan kaki pun sudah diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009. 

Dalam pasal 131 diatur bahwa pejalan kaki (pedestrian) berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas penunjang lain. Dari peraturan tersebut, sudah jadi kewajiban pemerintah untuk mengembalikan fungsi trotoar Malioboro yang hanya sebagai tempat pejalan kaki. Revitalisasi Malioboro ditargetkan akan dapat mengembalikan fungsi trotoar sebagai penunjang wisata pedestrian.

Malioboro sebagai penggerak pariwisata unggulan DIY, perlu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Berbagai langkah telah dilakukan untuk membangkitkan ruh Malioboro. Pemerintah berusaha melakukan harmonisasi antara PKL dan pejalan kaki dengan mengosongkan trotoar Malioboro pada program Selasa Wage. 

Sudah menjadi program kerja Pemerintah Daerah DIY untuk melakukan penataan pada kawasan wisata Malioboro. Program penataan tersebut memiliki dampak-dampak tertentu pada perubahan wajah Malioboro terhadap aktivitas pariwisata. Salah satunya berdampak pada interaksi antara PKL dan pejalan kaki, yang notabene PKL menggunakan sebagian besar lahan trotoar untuk lokasi berjualannya.

Dari hasil observasi dan wawancara penulis, ditemukan bahwa pihak PKL dan pihak pejalan kaki setuju dan mendukung program penataan Malioboro. Pihak-pihak tersebut setuju agar kawasan Malioboro diperbaharui wajahnya agar dapat progresif mengikuti zaman, namun tetap mempertahankan ciri khasnya. 

Selain itu, pihak-pihak tersebut merasa penataan Malioboro berdampak baik bagi mereka, karena memang tidak ada yang dirugikan dalam program penataan ini. Jadi, memang program ini berdampak baik bagi pariwisata DIY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun