Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[LOMBAPK] Andai Kita Buatan Pabrik Mungkin Lebih Bisa Harmonis

23 Januari 2017   21:09 Diperbarui: 23 Januari 2017   21:50 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ahmedfikreatif.files.wordpress.com

Kamis pukul satu lewat sebelas menit. Siang. Aku masih duduk di dalam kelas ketika Ibu Norman menyampaikan kuliah tentang pentingnya berkomunikasi yang baik dan benar saat menghadapi masyarakat heterogen, agar kita bisa hidup berdampingan, rukun dan harmonis, dan atau perkawinan silang keduanya kalau boleh.

Ibu Norman meminta kepada seluruh mahasiswa di kelas, sebagai tugas kuliah untuk mengunjungi museum. Tapi lima detik kemudian ia meralat kalimatnya sendiri, “Maaf. Maksud saya kalian mengunjungi Hope House, Rumah Harapan. Rumah Panti Jompo. Iya. Tempat itu. Di sana, saya harap kalian akan menemukan sesuatu yang baru, yang bersejarah dan bisa menceritakan dirinya sendiri. Bagaimana dulu mereka bisa hidup bersama-sama, saling berdampingan dan membutuhkan tanpa satu sama lain memiliki gagasan saling melukai karena menganggap perbedaan tak bisa diikat hingga harus dipecah-belah. Hingga mereka merasa perlunya mengasah mengasah kapak. Orang-orang tua adalah benda bersejarah, luhur dan bijak dan memiliki obyektifitas terbuka. Jadi mereka akan mengatakan apa yang semestinya kalian buat, mahasiswa yang sok kritis buat, dan negara buat untuk mengatasi ini. Kita akan mulai mencari solusi dari sana.

“Setelah itu, tanyakan komentar terbaik mereka soal cinta pada pandangan pertama, investasi jangka panjang menanam pohon di dalam pot plastik. Apakah mereka masih ingat caranya bersiul? Dan terakhir, karena kalian tahu mereka tak bisa bersiul, tetap tunjukan raut muka antusias kalian, dan buatlah seakan-akan mereka hanya sedang tidak beruntung dengan memujinya begini: ‘Tak apa. Kau sudah berusaha sangat keras, dan kali ini mungkin kau hanya tidak sedang beruntung!’”

Tepat ketika Ibu Norman mengakhiri kalimatnya, ponsel di saku celanaku tiba-tiba saja bergetar. Aku mengintipnya. Panggilan dari Ibu. Di tengah-tengah aku mengintipnya, seorang Mahasiwa yang duduk di seberang bangku berdiri, lalu berkata, “Tapi. Bukankah itu akan terdengar seperti sedang mengolok-ngolok mereka?”

Ibu Norman memandang Air Terjun, nama Mahasiswa itu. “Ya. Bukan. Maksud saya, kenapa kalian berpikir seperti itu?”

Ibu Norman memang begitu. Ia sangat senang memanggil anak didiknya dengan sebutan kalian ketimbang menunjuk kau. Seolah satu mahasiswa adalah satu suara yang mewakili banyak mulut satu kelas. Dan hal itu sangat menguntungkan karena kami yang diam saja, yang merasa tidak berguna seolah ikut berkontribusi dalam membangun ruang pembelajaran. Tapi sialnya, ketika Si Pewakil Suara melakukan tugasnya dengan sangat buruk, sebagai gantinya, kami semua tidak akan mendapatkan nilai A, atau B atau C. Hidup memang tak pernah menyenangkan, kecuali kau adalah seekor tupai yang tidak ingin masuk dalam daftar ungkapan pepatah. Jadi kau tidak perlu merasa jatuh dan terluka.

“Maksud kami,” Air Terjun memandang seluruh ruangan. “Kami memang tidak menginginkan nilai D, tapi kami juga tidak ingin memiliki kenangan khusus dimarah-marahi Kakek-kakek dan Nenek-nenek satu komplek. Jadi kami rasa, cukup dengan mewancarai Nenek atau Kakek di sekitar lingkungan kami saja, itu sudah cukup.”

Ibu Norman menimang-nimang spidol di tangan kanannya. Seperti sedang memutuskan sesuatu. Air Terjun kembali duduk, dan kami duduk dengan takzim menunggu masa depan yang cerah. Bagaimana kalau B? Ah, C juga tidak terlalu buruk. Tapi, di tengah-tengah penantian kami tiba-tiba saja bel akhir mata pelajaran berbunyi. Jadi Ibu Norman berkata sambil menjentikkan jarinya, “Minggu depan tugas itu harus dikumpulkan!” Lalu dia melangkah keluar kelas.

Sebuah pantangan memang, menambah jam kuliah meskipun satu detik, sementara kita mendengar bel sudah berbunyi. Seluruh mahasiswa yang duduk langsung merosotkan tubuhnya dikursi sambil melenguh. Air terjun yang duduk di sampingku berkomentar, “Kurasa Ibu Norman memang sengaja mengulur waktu, agar beliau tidak memliki kesempatan menyanggah pendapat kita.”

“Menurutmu begitu?” Aku menimpalinya.

Air Terjun tidak menjawab. Ia langsung melengos dan keluar kelas. Sementara ponsel di dalam sakukku kembali bergetar. Ibu menelpon lagi. Aku mengangkat telepon. “Anak nakal!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun