Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Ayah Menulis Ibu, Saya Menulis Kamu

23 Oktober 2016   00:54 Diperbarui: 24 Oktober 2016   09:47 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.nyoozee.com

Malam minggu, saya bisa saja galau. Usia saya 24 tahun, saya pernah membayar baju di mal karena menjajal kemeja yang kekecilan dan sobek. Berlari menghindari tiga ekor anjing setelah menyerah dan memutuskan untuk lebih dulu menggigit mereka –jika seorang satpam tidak menghalangi niatan saya itu. Membuat sajak-puisi-dan cerita-cerita menyedihkan demi menerima diri saya sebagai seorang lelaki dengan tinggi 169 cm yang cukup layak patah hati. Curhat kepada ibu saya sekaligus menenangkannya supaya beliau tidak menangis di hadapan bawang merah sambil menunjuk kolom majalah wanita yang seharusnya sebelum beliau melakukan aktivitas itu, lebih dulu melumuri pisau dapur dengan minyak sayur. “Jangan marah,” katanya, “tapi ceritamu benar-benar menyedihkan!”

Saya sedang minum, nafas saya pendek, dan saya tak pernah siap jika dikejutkan dengan cara seperti itu. Saya tersedak. Ibu tertawa.

“Kau kan bisa cari wanita lain, Caius!”

Kami telah berada di dalam dapur selama 30 menit. Sebelumnya ibu bertanya, saya ingin makan apa malam ini. Saya jawab saya akan menemaninya memasak di dapur.

“Saya ingin, Bu!”

“Tapi?” tanya ibu penasaran.

“Ya, ampun ibu, kau tahulah, memihak pada sesuatu yang tak kita inginkan itu susah!”

“Berhenti menggunakan bahasa prosamu, Caius. Sekarang katakan: kau berusaha mencari wanita lain, kau mendapatkannya tapi kau merasa tidak, tidak, ia bukan yang Caius inginkan.”

“Nah, itu yang sedang saya bicarakan, ibu.”

“Tapi, apakah kau sudah mengatakan, maksud ibu, kepada Nenas, bahwa kau begitu mencintainya, menginginkannya lebih dari apapun dengan mengancam bahwa langit akan runtuh dan bumi akan terbelah, sama ketika seminggu lalu saat kau terpeleset kulit pisang di kamarmu sendiri, jika ia terus bersikap seperti kau adalah orang yang paling ia benci?”

Saya bingung. Saya tidak tahu sebenarnya dengan siapa saya sedang bicara. “Ibu....?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun