Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehangatan Keluarga dan Kisah Tikus Uji Coba

14 Maret 2018   21:02 Diperbarui: 14 Maret 2018   21:10 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock

Ada perasaan tenang suka rela jika Ibu atau Ayah saya menyarankan saya untuk mandi lebih sering dari pada umumnya. Ada perasaan bersalah juga, yang cukup wajar jika mereka sekali-kali mengajukan pertanyaan: kapan mandi dan menikah secara bersamaan.

Saya memakluminya.

Keluarga adalah Tikus Uji Coba Pertama

Ilustrasi: topbisnis.org
Ilustrasi: topbisnis.org
Sudah menjadi hal lumrah jika keluarga adalah kumpulan kompilasi dari beberapa karakter yang memiliki kedalaman sendiri-sendiri.

Ibu saya pernah berkeinginan membuat kue. Kue yang enak dan laku dijual, begitu kira-kira cita-citanya. Seluruh anggota keluarga harus mencoba dan memberikan voting setelah mencicip masakannya.

Setiap kepala tentu punya pengalaman masing-masing tentang rasa lezat dan enak dan bayang-bayang makanan itu tak boleh dimakan.

Tapi Ibu saya bilang, "Kita dulu ya, yang mencobanya. Baru orang lain. Biar kalo ada apa-apa enak. Tinggal minta maaf. Oke?"

"Oke," jawab kami serempak.

Hal lain, dalam kasus lain. Ayah saya juga bahkan mengusulkan, "Oke, seorang laki-laki dalam rumah harus ada yang bisa mencukur. Dengan begitu kita tak perlu tiga bulan sekali pergi mengunjungi tukang pangkas rambut. Kitalah korbannya. Kita harus mengirit. Semua harus ikut berpatisipasi. Setuju?"

Adik saya paling bungsu terpilih sebagai tukang cukur itu. Lalu setiap punya keinginan potong rambut, maka dialah orangnya yang berhak mengeksekusi.

Saya jujur. Pertama kali dia mencoba, potongan rambutnya sangatlah jelek. Saya bahkan sangat malu ketika harus merapikannya kembali ke tukang pangkas rambut yang sebenarnya. Tapi dia bilang pada saya, "Maaf." Sambil menunduk, seolah-olah sangat menyesali perbuatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun