juga cara anak-anak memanggil ibunya dengan suara pipih dan tak bisa direda langit sore. juga payung yang tak lagi digunakan untuk menangkal tajam jarum hujan yang ganih, mereka jauh lebih mengerti cara menyelundupkan ingatan-ingatan patah dan pejal di matamu bagai para pejagal, aku ungsikan lagi bulu-buluku kutanggalkan lagi apa yang selamanya ada demi memburumu yang membentang keketiadaan orang-orang yang mengenal stasiun, pemberhentian kapal dan nyala korek api, kain pel, karpet tempat menyimpan uang dan harapan dan kesepian di depan televisi setelah mereka dimatikan.
Kubangkitkan lagi arwah-arwah murung yang tak mencapai tanah murni sebelum dendamnya tuntas kepada lagu kekasihnya yang diputar di radio ayah. jangan tanya-tanya lagi alasan kita begini parah dan hangat diredam langit sore yang keluar dari asap dapur masakan tetangga, aroma bawang goreng yang sekali lagi tak bisa bikin kita kenyang dan kau melompat girang bagai anak kecil yang tak sanggup kukalahkan.
Di jantungku abadi kesepian bertarung menyaksikan kekalahan yang seri sebab tanganmu, oh, tanganmu yang kunyit, mengulur bagai benang kusut dikeluhkan tukang jahit keliling yang menginginkan sebutir apel, sebutir kancing dan sedikit lamunan masa mudanya sebelum hujan atau petir atau getir pahit ampas kopi menindas orang-orang yang meyakini dirinya berdiam. kukalahkan lagi keberaniaanku yang pengecut agar mudah kau lucuti sebagai binatang purba tanpa taring dan cakar dan bisa yang bisa membikin cermin suka rela menatapku tanpa ampun. sore ini hujan, dan tak ada yang sanggup membuatmu hidup lagi sebagai ingatan tak berhingga.