Bukunya sangat tebal. Tebal sekali andai kau tahu, Caius, dan saya telah menyimpannya sejak lama, sebagai usaha mengingatkan ayahmu saat ia sedang melakukan hal-hal yang tak dapat saya kendalikan, atau saat ia sedang marah. Sangat marah, dan saya meredamnya dengan menunjukan kitab itu. Lalu membacakan teksnya keras-keras di hadapan ayahmu. Setelah itu, ayahmu akan kembali teduh, saya akan bernaung di bawahnya.”
“Cerita yang mengharukan, Ibu,” kata saya sambil tertawa. Saya tidak tahu di mana letak lucunya.
“Dan kau tahu, Caius, kadang jika merasa perlu ibu juga memanfaatkan kitab itu untuk menggodanya. Menyuruh ayahmu mencuci piring misalnya.”
Saya kembali tertawa. Tapi kini saya memiliki alasan untuk melakukannya.
***
Setelah acara makan malam keluarga di ruang tengah, saya masuk ke dalam kamar saya. Malam minggu ini, saya bisa saja galau, tapi lain kali saja saya lakukan itu, karena saya sedang sibuk menghitung sajak-sajak yang secara tak langsung menyampaikan cinta saya padamu dan barangkali, kalau sempat, saya akan menyusunnya menjadi kitab-kitab. Saya mencintaimu, saya mau mengenakan celemek seperti ayah, kalau kau mau. (*)