Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

28 April 2016   17:08 Diperbarui: 2 Mei 2016   01:03 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Jadi apa yang kau lakukan dengan kakekmu saat kalian tersesat?”

“Kami tidak tersesat,” kata Bumi sambil memandangi arus sungai. Jarak dari tepi kami berdiri sampai tepi lain sekitar 11 meter, mungkin 15. Aku tak yakin.  

 “Kami berlari dari seekor Leopard. Aku tahu, ketika itu kami dalam masalah besar. Tubuh kakek yang kekar menggendongku dan kami melewati sungai ini.”

“Mengapa mereka ingin membunuh kalian?”

“Karena mereka berlaku curang!”

“Ya?” Kataku sambil mengernyit. Kadang-kadang apa hubungannya pihak yang telah dicurangi dan harus dibunuh?

Bumi mematahkan ranting pohon yang tumbuh di sekitar sungai.

“Kami memanah rusa sore itu,” katanya sambil memainkan ranting dan menganalogikannya seperti sebuah panah, “dan setelah binatang yang memilki tanduk bercabang itu terkapar, kami beranjak dari atas pohon, mendatanginya. Namun kami terhenti ketika menyadari bahwa seekor leopard kecil berusaha mencuri buruan kami. Kakek dan aku kesal, lalu dari atas pohon kami memanah Leopard itu sampai mati. Bahkan jika hal itu tidak mengakhiri hidupnya seluruh anak panah kami akan terus menembus tubuh leopard jalang itu sampai habis.

“Kami turun dari pohon dengan penuh kemenangan, tentu saja. Namun itu tidak bertahan lama, sebab pertarungan sesungguhnya baru dimulai. Dan kau tahu, seekor leopard dewasa tiba-tiba saja melintas dan, yah,.... Leopard pemanjat yang handal, ia dapat berlari dengan kecepatan rata-rata 100 km per jam dan dapat berenang. Beruntung binatang karnivora sialan itu, kupikir, tidak suka seragam tutulnya basah.”  

Di tepi sungai, aku mengamati dua ekor kepiting keras kepala berwarna hijau lumut yang telihat sibuk sekali berebut makanan—bangkai ikan. Ukuran tubuh mereka sama-sama besar dan sama-sama serakah dan mereka tolol. Mengapa tidak saling berbagi saja? Itu lebih adil, menurutku. Tapi salah satu mereka ingin memiliki semuanya. Aku mendatangi dua ekor kepiting itu dan membelah bangkai ikan menjadi dua bagian. Aku kembali menepi, dan mereka tetap berebut makanan kembali. Arrgh...

“Hai... kau mendengarku?” Aku tersentak. Nada bicara Bumi tiba-tiba menyadarkanku bahwa aku sama sekali bukan wasit yang adil bagi kaum kepiting.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun