Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Novel | Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

20 April 2016   23:34 Diperbarui: 23 April 2016   02:20 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menuju ke dapur. Menanak air. Sambil menunggu air panas, aku mengecek hape. Ada tiga belas panggilan masuk yang tak terjawab dari nomor tak dikenal dan dua pesan berisi, satu, ucapan terimakasih mekanis dari layanan jaringan kepada pungguna; kedua, dari nomor sama, nomor pemanggil yang tak dikenal. Di akhir pesan singkat itu ia menuliskan namanya: Kalani. Maafkan aku, aku tak bisa memberitahumu apa isi pesan itu. Tapi ijinkan aku bersiul dan bernyanyi? Percayalah keadaan seperti ini jarang sekali terjadi, setidaknya dalam sepekan, mungkin seumur hidupmu. Tunggu! Tapi bagaimana aku bisa sangat yakin bahwa itu benar-benar dari Kalani? Lama sekali ia telah menghilang dan kini ia muncul kembali ke permukaan, kataku dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala karena bingung dan gatal. Terakhir kali kami bertemu, sepuluh tahun lalu, di sebuah kedai kopi, ia bilang, ia akan pergi. “Kemana?” tanyaku.

Ia hanya menggeleng tak sanggup menjelaskan alasan mengapa ia harus pindah rumah bersama kedua adiknya dan mengikuti ibunya karena kedua orang tua mereka sepakat berpisah.

“Apa itu artinya kita harus berpisah?” Ia tak lagi menggeleng, tak juga mengangguk, hanya menunduk. Seperti telihat di dalam kepalanya tersimpan kesedihan yang amat besar yang bahkan membuatnya tak sanggup menopang kepalanya sendiri. Ia hanya diam dan diamnya berkata-kata. Air mata perempuan di depanku menitik dan masuk ke dalam cangkir kopi. Aku mengamati cangkir kopi itu dan berusaha keras menerjemahkan air matanya yang jatuh—yang telah terkontaminasi dengan kopi—yang semakin lama semakin deras. 

Tiga hal yang dapat kubaca dari air mata kopinya bahwa (1) Ia tak tahu apa yang ia pikirkan dan harus ia rasakan (2) Ia ingin sendiri, pergi  ke suatu tempat lain yang sepi—mungkin sebuah gunung batu atau sebuah pantai dan berteriak pada batu karang dan mungkin mulai bicara dengan tebing (3) karena ia ingin bicara dengan tebing—dan menganggap manusia sudah tak dapat lagi memahami bahasa hatinya—maka aku diam, karena aku bukan tebing. Sebab melalui air matanya ia menyuruhku untuk diam dan tak memikirkan apa pun dan melarangku untuk turut menangis. “Biarkan aku mengalami kesedihan ini sendiri saja. Kau jangan!”  

Maka aku tak menangis. Tujuh minggu berturut-turut setelah itu, kami terus berkirim surat—dan ia selalu melarangku untuk tidak meminta nomor telepon pribadinya melalui surat agar kami perlahan dapat saling melupakan, alasannya, lalu ia menghilang. Tujuh tahun setelah itu, melalui surat, ia bilang bahwa ia akan menikah. Dan aku merasa perlu menangis. Kami tidak membicarakannya lagi setelah surat-surat yang sempat terkirim berikutnya mengenai apa pun yang melibatkan soal cinta, setelah pernikahannya.

Namun, kau tahu, dari seorang teman dan sumber terpercaya mengatakan bahwa sebenarnya Kalani belum menikah. “Sama sekali?” tanyaku datar, sama sekali tak terkejut. Tapi cukup membuatku hampir menangis lagi.  

“Atau kau ingin mendengar aku menikahinya?”

Aku menendang bokong lelaki itu sampai ia terjungkal ke trotoar dan mentraktirnya kopi.

Terlepas dari itu semua tetap saja membuat kepalaku pusing. “Kalani, o, Kalani,” kataku dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalaku yang mula-mula tak gatal menjadi sangat gatal. Baiklah, aku harus mandi.

Air mulai mendidih. Aku membuat teh manis dalam gelas ukuran kecil dan membawanya ke ruang tengah, dan menyisakan lebih banyak air panas untuk mandi. Butuh waktu lima puluh menit berendam membersihakan badan sampai aku merasa bersih dan tidak gatal—namun berendam selama itu, mungkin malah cukup membuat lumut-lumut menempel pada tubuhmu.

Dengan tubuh terlilit handuk aku menuju kamar dan kembali lagi ke kamar mandi karena pikiranku tertinggal di sana—lupa gosok gigi. Aku mengenakan pikiranku dan kembali memikirkan perempuan itu. Sambil masih tetap bersiul, telanjang setengah dada mengenakan handuk, aku mencatat sesuatu yang penting ke dalam buku saku tentang yang kupikirkan mengenai keberadaan waktu yang, lebih banyak berbualnya ketimbang menepati janjinya. Aku melakukan kegiatan ini—mencatat—setiap saat atas dorongan seperti kebanyakan manusia pada umumnya dan atas dorongan sifat manusia pada khusunya yaitu, yah, sekedar mencatat apa saja yang menurutku memang perlu dicatat. Siapa tahu berguna. Dan kadang memang berguna, untuk mengenang misalnya. Tapi lebih banyak tidak ada gunanya.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun