Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

16 April 2016   07:23 Diperbarui: 23 April 2016   02:16 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kau dulu nanti baru aku!”

“Aku juga tak suka daging mentah,” sekali lagi ia tertawa.

Buatlah api dari apapun, tanpa membuat orang sekitarmu marah karena ia besar sekali dan lapar. Karena aku pun lapar, aku menurut. Selagi membuat api aku membayangkan manusia purba yang hidup di dalam hutan tumbuh perlahan dalam tubuhku. Betapa mudah mendapatkan api. Aku pernah dengar bahwa ludah manusia lebih panas dari bara api. Setelah menumpuk banyak sekali rumput-rumput kering dan ranting-ranting kering api berhasil menyala. Tentu saja, sebelum itu aku meludahinya berkali-kali—karena tak kunjung menyala. Bumi kembali dengan membawa tanah liat, sejenis lempung, “Untuk apa?”

Ia meliliti ular malang itu dengan lempung, dan membungkusnya dan membakarnya di bara api. “Kau pernah melakukan ini sebelumnya?” tanyaku. Ia jawab, pernah, dulu bersama Kakeknya. “Oh, apakah Kakekmu tinggal di dalam goa juga?”

“Tidak.”

“Ular malang apa yang sempat ia makan?”

“Aku tak tahu, tapi ia menggigitku ketika itu. Kata Kakek, ‘ini adalah salah satu penawar rancunnya,” Kenang Bumi menjelasan sambil memainkan ranting kayu membolak-balikan posisi ular bakar supaya merata.

“Benarkah?”

“Tentu saja tidak, pertanyaanmu tolol sekali!” Ia kembali tertawa.

Ya ampun. Orang ini menyebalkan sekali. "Ambilkan aku daun pisang," nadanya menyuruh lebih terdengar seperti komandan.

Aku bergegas pergi dan kembali dengan daun pisang yang ia inginkan. Menggelarnya seperti tikar. Kedua tangan Bumi—dengan bantuan dua ranting kayu—mengangkat ular bakar tersebut. Tanah yang tadinya berwarna hitam macam lumpur, kini telah berubah menjadi tanah merah. Persis berwarana seperti batu bata merah rumahmu. Artinya sudah masak. Ia  meletakannya di atas permukaan daun pisang dan memecahkan pembungkus ular malang itu dengan sangat hati-hati. Kau bisa melihat minyak, mungkin lemak yang merembes dari dalam tubuh si ular. Ular itu sendiri kini telanjang tanpa mengenakan pakaian karena si kulit lengket dengan pembungkusnya. Bumi mencicipi ular masakannya sendiri. “Bagaimana rasanya?” aku bertanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun