Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Bagian-bagian yang Kita Sederhanakan

16 April 2016   07:23 Diperbarui: 23 April 2016   02:16 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: photographyblogger.net"][/caption]Bab I

Ini bukan waktu yang tepat untuk menyesali segala sesuatu. Menyesal, kurasa, aku akan memikirkannya nanti. Sekarang  yang kubutuhkan adalah bersembunyi dari maut. Aku telah berlari sejauh—meskipun tak yakin—1.098.1129 kaki. Seperti usaha seekor rusa kecil yang berlari dari kawanan singa, macan atau sejenisnya. Aku adalah rusa kecil yang tertatih dan sempoyongan dan amat serampangan menabrak sana-sini; sawah, semak-semak, dan yah, melompati pagar setinggi 3 meter. Setelah meloncati pagar tembok itu kami berpisah. Berlari dan terus berlari melewati rimbunan pohon tebu. Baiklah, aku lelah. Aku harus mengatur jantungku yang nyaris ingin copot dari tangkainya.

Cahaya bulan sedang pucat-pucatnya, cukup menguntungkan untuk memberi lebih banyak ruang berlari. Di belakangku para pemangsa telah tertinggal jauh. Di hadapanku ada pohon mangga besar sekali, betapa tinggi pohon ini.

Di dalam hutan di bawah dan sekitarku orang-orang tolol itu masih mencariku dengan lampu senter dan obor dan berteriak-teriak memanggil seperti salam perkenalan ketika awal kami berjumpa di kandang ayam, “Maling.... Maling.... Maling!”

Aku tidak menyambut awal perkenalan kami dengan baik—sampai kini aku berada di atas pohon mangga besar—aku tidak ingin berkenalan dengan mereka. Mereka menampakkan muka yang bengis, jika kau pernah melihat wajah seseorang memenggal kepala ayam.

“Aku ingin makan malam dengan paha ayam.”

Duduk di atas dahan pohon mangga besar, percakapan sore itu sepenuhnya adalah malapetaka. Aku benci mengingatnya, tapi orang-orang itu masih setia mencariku dan tak ada alasan khusus sehingga aku pun mengingatnya.

“Kau bukan orang miskin! Kau tinggal pencet beberapa nomor di ponselmu dan tunggu sampai orang mengatakan, ‘Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?’”

Bumi menundukkan kepalanya dan melongok judul buku dari bawah yang sore itu aku baca. Ia meraih kuping cangkir kopi di sampingku dan menghabiskan sebagian banyak isi yang tersisi di dalam gelas. “Ayam bakar, menurutmu bagaimana?”

Ayam bakar. Semua mahluk omnivora kurasa akan berkomentar, tentu saja, Bung, enak. Termasuk ayam itu sendiri. Kenapa ia tanyakan itu? Aku tidak menjawabnya. Aku sedang membaca buku dan tidak sedang ingin sedang diganggu bahkan tentang khayalan paha ayam yang berminyak dan berasap.

“Eh, kau pernah mencuri?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun