Untuk menjawab pertanyaan tentang sejauh mana tanggungjawab negara terkait pemulangan orang Indonesia yang menjadi anggota ISIS, seharusnya tidak dilihat secara sempit hanya dari asumsi tentang hak-hak yang melekat pada anggota ISIS tersebut sebagai manusia. Namun negara harus melihat persoalan ini secara holistik, bahwa negara pun bertanggungjawab untuk memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan diri dan rasa aman dari ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 tersebut.
Fakta yuridis hilangnya status kewarganegaraan anggota ISIS berdasarkan UU Kewarganegaraan, berimplikasi bahwa anggota ISIS tidak bisa lagi disebut memiliki hak konstitusional berdasarkan UUD 1945, karena yurisdiksi UUD 1945 hanya berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan mereka yang telah kehilangan kewarganegaraannya. Demikian pula dengan tanggungjawab pemerintah, bahwa addressat Pasal 28J ayat (2) hanya mencakup hubungan antara Pemerintah dengan warga negara Indonesia, sehingga seharusnya pemerintah pun tidak memiliki tanggungjawab hukum apapun atau kewajiban hukum apapun kepada mereka yang telah kehilangan kewarganegaraannya.
Berdasarkan hal ini, secara hukum Pemerintah tidak memiliki kewajiban hukum apapun untuk memulangkan mereka yang telah kehilangan kewarganegaraannya. Justru pemerintah punya kewajiban untuk melindungi serta memeberikan rasa aman dari ancaman terhadap seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, Pemerintah wajib menolak kepulangan mereka yang telah menjadi anggota ISIS demi memenuhi hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman dari ancaman berdasarkan ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
**************
Penulis:Â
Andi Ryza Fardiansyah
(Advokat, Pemerhati Hukum Tata Negara)