Narasi seputar GoPro belakangan ini berayun antara inovator perintis dan perusahaan yang berada di ambang kehancuran. Bisikan dan pernyataan terang-terangan tentang "kebangkrutan GoPro" muncul secara berkala, dipicu oleh kesulitan keuangan yang sangat nyata dan gempuran persaingan. Meskipun perusahaan ini sebenarnya masih terus beroperasi dan bahkan meluncurkan produk HERO (2024), perjalanannya dari inovator pasar menjadi perusahaan yang berjuang untuk relevansi berkelanjutan menjadi studi kasus menarik dalam lanskap teknologi. Kesulitan yang dihadapi GoPro saat ini seakan mengingatkan kita untuk menelisik kembali perjalanan GoPro hingga kebangkitan pesatnya, serta kesalahan langkah yang menyebabkan gejolak keuangannya.
Mengapa GoPro Kehilangan Pamor?
Didirikan pada tahun 2002 oleh Nick Woodman, GoPro tidak hanya memasuki pasar kamera, tetapi bisa dibilang menciptakan kategori "kamera aksi" seperti yang kita kenal sekarang. Terinspirasi oleh keinginan untuk menangkap foto aksi berkualitas saat berselancar, Woodman mengembangkan kamera yang memungkinkan pengguna merekam aksi mereka dari perspektif orang pertama, mewujudkan seruan merek "Be a HERO". Perjalanan awalnya berupa usaha mandiri (bootstrapped), dimulai dengan kamera film 35mm pada tahun 2004 dan berkembang menjadi Digital HERO pada tahun 2006. Pendapatan awal GoPro pun terbilang kecil, tumbuh dari $150.000 di tahun pertamanya menjadi $3,4 juta pada tahun 2007. Titik balik sebenarnya tiba dengan HERO3 pada tahun 2012, kamera ringkas yang mampu merekam video 4K, yang melambungkan GoPro ke arus utama. Inovasi ini bukan semata perbaikan pada teknologi yang sudah ada, melainkan membuka perilaku pengguna yang sama sekali baru yang berpusat pada pengambilan dan berbagi petualangan pribadi. Penciptaan segmen pasar baru ini memungkinkan pertumbuhan eksplosif dan margin keuntungan yang sehat.
Secara finansial, GoPro mencapai puncak pendapatan hingga $1,61 miliar pada tahun 2015. IPO tahun 2014 membuat sahamnya yang awalnya dihargai $24, melonjak hingga lebih dari $86 pada satu titik, dan kapitalisasi pasar perusahaan melampaui $5,1 miliar. Dominasi pasar juga hampir mutlak, di mana pada tahun 2014, GoPro menguasai hampir 95% pasar kamera aksi. Faktor signifikan dalam pertumbuhan eksplosif ini mencakup penggunaan konten buatan pengguna (UGC) oleh GoPro sebagai bagian dari strategi pemasaran mereka. Dengan menampilkan video-video mendebarkan yang direkam oleh pelanggannya sendiri, GoPro menciptakan mesin penjualan yang kuat, otentik, dan berbiaya rendah yang membangun komunitas dan memperkuat mereknya secara global. Akan tetapi, keberhasilan yang mendefinisikan GoPro tersebut justru menabur benih-benih kesulitannya di kemudian hari. Tantangan paling signifikan muncul dari arah yang tidak terduga: kehadiran ponsel pintar (smartphone). Seiring teknologi kamera smartphone berkembang pesat dan menawarkan kualitas video yang semakin baik, kebutuhan akan kamera aksi terpisah berkurang bagi pengguna kasual. CEO Nick Woodman sendiri pun mengakui, "Kami gagal membuat GoPro kekinian dan menyelaraskan GoPro dengan gerakan smartphone". Ini menjadi kasus klasik disrupsi dari bawah (low-end disruption), di mana alternatif yang lebih sederhana dan mudah diakses mulai menggerogoti pasar pemain lama. Â
Secara bersamaan, lanskap persaingan juga semakin ketat. Pemain baru seperti DJI dan Insta360 muncul, menawarkan fitur khusus atau kualitas sebanding dengan harga lebih rendah. DJI, dengan memanfaatkan keahlian drone-nya, membuat terobosan signifikan ke pasar kamera video yang lebih luas. Pesaing ini tidak hanya menawarkan alternatif yang lebih murah, tetapi juga berinovasi di bidang-bidang seperti pengambilan gambar 360 derajat dan stabilisasi gimbal yang terkadang lebih cepat dari GoPro. Keputusan strategis GoPro sendiri memperburuk tekanan eksternal ini. Drone Karma yang banyak digembar-gemborkan, diluncurkan pada tahun 2016, merupakan kesalahan langkah yang paling signifikan. Drone ini diganggu oleh keputusan recall tak lama setelah peluncuran karena cacat desain kait baterai yang menyebabkan kegagalan daya dan kesulitan bersaing dengan dominasi DJI yang sudah mapan. Usaha ini menghabiskan sumber daya R&D yang besar, dengan pengeluaran mencapai puncaknya sebesar $359 juta pada tahun 2016, yang mengalihkan fokus dan modal dari inovasi kamera inti pada saat kritis ketika persaingan memanas. Upaya untuk beralih menjadi perusahaan media juga terbukti tidak berhasil, semakin membebani sumber daya dan mengaburkan fokus GoPro. Seiring pasar inti penggemar olahraga aksi menjadi jenuh, menarik pelanggan baru terbukti sulit, terutama dengan strategi harga premium GoPro. Dampaknya, GoPro menghadapi tantangan finansial yang semakin parah: pendapatan anjlok dari puncaknya tahun 2015, turun menjadi $1,18 miliar dan kerugian $419 juta pada tahun 2016. Kapitalisasi pasar perusahaan runtuh dari puncak multi-miliar dolarnya menjadi hanya sekitar $95 juta pada Mei 2025. Penurunan ini bukan semata-mata karena kekuatan pasar eksternal, melainkan juga cerminan tantangan internal dalam pelaksanaan strategi, keputusan peta jalan produk, dan perkiraan berlebihan terhadap elastisitas merek dalam menghadapi alternatif yang menarik. Meskipun GoPro membuat kamera yang ada menjadi lebih baik  dengan inovasi berkelanjutan, mereka gagal untuk secara memadai melawan kekuatan disruptif yang membentuk kembali pasarnya.
Perjuangan GoPro Saat Ini untuk Tetap Relevan
Meskipun menghadapi tantangan berat, GoPro tetap aktif berjuang. Menghadapi tantangan finansial yang terus-menerus, manajemen GoPro menerapkan strategi pemulihan multi-cabang. Untuk merespons biaya operasional non-GAAP yang turun 26% pada Q1 2025 (YoY). Woodman telah mengartikulasikan rencana untuk mengurangi biaya operasional keseluruhan untuk tahun 2025 hampir 30% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, untuk mencapai perbaikan hingga 46% dalam EBITDA bahkan dengan angka pendapatan yang lebih rendah. Peralihan ke model langganan menjadi elemen penting lainnya. GoPro gencar mempromosikan layanan langganannya, yang menawarkan manfaat seperti penyimpanan cloud, diskon perangkat keras, dan fitur eksklusif. Strategi ini bertujuan untuk membangun aliran pendapatan berulang yang lebih stabil dan mengurangi ketergantungan pada pasar perangkat keras yang kompetitif.
Selain itu, inovasi produk tetap menjadi fokus, meskipun sifat inovasi ini lebih diawasi. GoPro terus melakukan iterasi pada lini HERO andalannya, dengan HERO13 Black, dan telah menyegarkan kamera MAX 360-nya. Peningkatan perangkat lunak, seperti pengalaman pengeditan seluler 360 yang diperbarui di Aplikasi Quik-nya, juga merupakan bagian dari permainan ekosistem. Banyak antisipasi mengelilingi kamera Max Two 360 yang akan datang, yang disebut-sebut sebagai "pengubah permainan" potensial yang menargetkan pembuat konten profesional. GoPro juga berusaha untuk memperkuat saluran penjualan langsung ke konsumen (DTC) melalui GoPro.com, yang secara inheren mencakup pendapatan langganan. Namun, saluran ini tetap menghadapi tantangan. Pada Q1 2025, pendapatan GoPro.com sebesar $40 juta, atau mewakili 30% dari total pendapatan, turun 18% secara YoY. Pendapatan saluran ritel, meskipun lebih besar yaitu $94 juta (70% dari total), juga menurun sebesar 12%. Upaya untuk mendiversifikasi rantai pasokan juga sedang dilakukan untuk meningkatkan ketahanan. Meskipun pemotongan biaya dapat memberikan dorongan sementara pada laba bersih, kemanjuran jangka panjangnya bergantung pada kebangkitan pertumbuhan pendapatan dan margin kotor yang berkelanjutan. Pemotongan besar-besaran, jika terlalu parah akan memengaruhi R&D dan pemasaran untuk produk baru, secara tidak sengaja dapat menghambat inovasi yang sangat dibutuhkan untuk bangkit kembali.
Jalan GoPro yang Tidak Pasti ke Depan
Masa depan GoPro dapat disimpulkan jauh dari aman. Mereka harus menavigasi lingkungan persaingan yang berbahaya, terutama pasar kamera aksi yang semakin kompetitif. Persaingan pasar saat ini juga tergolong tinggi dan berbeda ketika GoPro pertama kali diluncurkan, dengan DJI menguasai 35% pangsa pasar pada Q4 2023, diikuti oleh Insta360 (12%) sementara GoPro turun menjadi 28% dari sebelumnya 45% pada 2020. Ancaman produk pengganti juga tinggi, terutama dari ponsel pintar yang kameranya semakin mumpuni. Ancaman pendatang baru berada pada level sedang hingga tinggi, dengan produsen Tiongkok dianggap sebagai tantangan utama karena mampu masuk dengan alternatif yang jauh lebih murah. Daya tawar pembeli juga tergolong tinggi karena konsumen peka harga dan mudah membandingkan produk. Survei 2023, misalnya, menunjukkan 79% pembeli memprioritaskan fitur daripada merek. Terakhir, daya tawar pemasok terbilang tinggi karena GoPro bergantung pada pemasok komponen penting seperti Sony.