Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ilusi Perjuangan dari Demonstrasi Para Pengemudi Ojol

20 Mei 2025   21:37 Diperbarui: 20 Mei 2025   21:37 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana demonstrasi pengemudi ojol di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Ojek daring (ojol) telah menjelma menjadi urat nadi mobilitas dan ekonomi digital Indonesia. Namun, di balik fasad kemudahan dan efisiensi, tersembunyi kompleksitas hubungan industrial yang rapuh, kerap termanifestasi dalam demonstrasi jalanan dari para pengemudi. Aksi-aksi ini, meski dibingkai sebagai perjuangan kolektif, patut dipertanyakan secara fundamental: apakah ini benar-benar mewakili suara mayoritas pengemudi, ataukah sekadar manuver bodoh yang justru menggerogoti fondasi ekonomi mereka sendiri dan mengabaikan logika pasar yang lebih luas?

Suara Minoritas, Beban Mayoritas, dan Kalkulasi Ekonomi yang Terabaikan

Salah satu paradoks paling kentara dari demonstrasi ojol terletak pada klaim representasi yang seringkali tak berjejak pada realitas kuantitatif. Aksi pada 20 Mei 2025 di Jakarta, yang menurut estimasi Gabungan Aksi Roda Dua Indonesia (Garda) melibatkan sekitar 25.000 pengemudi, sejatinya minoritas jika disandingkan dengan total populasi pengemudi ojol nasional.  Berbagai sumber mengestimasi angka ini berkisar antara 1,8 juta (menurut Sakernas BPS 2024) hingga 2,7 juta (menurut data Gojek 2022).  Dengan demikian, peserta aksi fisik di ibu kota yang baru saja terjadi hanya merepresentasikan kelompok yang sangat kecil, di bawah 1,4% dari total populasi.  Bahkan, jika kita merujuk pada klaim Garda bahwa 500.000 pengemudi akan mematikan aplikasi secara nasional, angka partisipasi fisik tetap menunjukkan diskrepansi signifikan. Kemunculan tagar #OjolTetapNarik di platform X, kendati diwarnai tudingan adanya orkestrasi buzzer, juga tak bisa diabaikan sebagai indikasi adanya "silent majority" yang memilih pragmatisme ekonomi.  Bagi mereka, keberlangsungan order harian dan pemenuhan kebutuhan keluarga menjadi kalkulasi yang lebih mendesak ketimbang retorika perjuangan yang hasilnya acapkali tak pasti.  Ini mencerminkan heterogenitas komunitas ojol, yang tak bisa direduksi menjadi entitas tunggal dengan aspirasi seragam.

Selain itu, dampak dari aksi minoritas ini bersifat merugikan secara kolektif.  Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta, menghitung bahwa setiap pengemudi yang mogok kerja merelakan potensi pendapatan harian rata-rata Rp116.000.  Jika terdapat 25.000 pengemudi mogok, ini berarti sekitar Rp2,9 miliar pendapatan kolektif lenyap dalam sehari hanya dari sisi pengemudi yang berdemo.  Lebih lanjut, potensi kerugian ekonomi di Jakarta akibat demo ojol bisa mencapai hampir Rp400 miliar dari nilai transaksi harian, ditambah potensi hilangnya Rp158 miliar dari pengeluaran konsumen terhadap layanan ride-hailing.  Efek domino ini tak hanya memukul perusahaan aplikasi, tetapi juga UMKM kuliner yang sepi pesanan dan mengganggu mobilitas masyarakat urban. Ojol, yang kerap disebut "tulang punggung logistik mikro perkotaan", justru lumpuh oleh ulah sebagian kecil komunitasnya, sebuah ironi yang menyakitkan bagi mereka yang memilih tetap produktif.  Lantas, pertanyaan mendasar yang muncul: perjuangan macam apa yang mengorbankan kepentingan ekonomi mayoritas dan stabilitas ekosistem yang menjadi sandaran hidup bersama, demi menyuarakan tuntutan segelintir pihak yang keras kepala? 

Ilusi Tuntutan dengan Nalar Ekonomi yang Abai

Narasi usang yang kerap didengungkan para demonstran---bahwa pengemudi adalah "jantung" yang dieksploitasi oleh "kezaliman" perusahaan dan pelanggan---merupakan simplifikasi akut yang mengabaikan kompleksitas ekonomi digital dan mekanisme pasar. Tuntutan-tuntutan populis, seperti pemangkasan komisi aplikator menjadi 10% (dari sebelumnya 20%) dan intervensi regulasi yang kaku, seringkali lahir dari ketidakpahaman fundamental terhadap realitas bisnis dan konsekuensi jangka panjangnya.

Pertama, kedaulatan konsumen dan efisiensi pasar merupakan hukum besi yang tak bisa dinegasikan.  Dalam ekosistem pasar bebas, konsumen secara rasional akan mencari layanan yang menawarkan proposisi nilai terbaik.  Studi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada tahun 2023 menunjukkan pergeseran preferensi konsumen dari sekadar harga murah menuju aspek keamanan dan efisiensi.  Memaksa platform menaikkan tarif atau mengurangi efisiensi demi mengakomodasi tuntutan sepihak merupakan strategi bunuh diri dengan konsumen yang akan beralih, volume pesanan menurun, dan pada akhirnya pendapatan seluruh pengemudi tergerus. 

Kedua, perusahaan aplikasi beroperasi dalam arena kompetitif dengan margin keuntungan yang seringkali tipis, terutama pada fase investasi awal yang masif untuk akuisisi pasar dan pengembangan teknologi.  DBS Group Research mencatat bahwa pemain dominan di Asia Tenggara terus berupaya meningkatkan profitabilitas melalui pengendalian biaya dan optimalisasi struktur.  Gojek dan Grab, sebagai contoh, bersaing ketat dalam inovasi teknologi dan strategi harga.  Menuntut perusahaan beroperasi dengan margin yang tidak realistis, seperti pemangkasan komisi aplikator secara drastis, sama saja dengan mendorong mereka ke arah disinsentif investasi atau bahkan kebangkrutan, yang berarti hilangnya platform bagi jutaan pengemudi.  Industri ride-hailing global diproyeksikan tumbuh dengan CAGR 9,6% (2024-2029), namun ini didasari oleh efisiensi dan inovasi, bukan belas kasihan terhadap pihak yang mengklaim diri "dizalimi."

Ketiga, status "kemitraan" merupakan pedang bermata dua yang dipilih dengan sadar, namun kini kerap disesali secara naif, bukan sebaliknya.  Fleksibilitas waktu dan kemudahan bergabung telah menjadi daya tarik utama bagi para pengemudi untuk bergabung dengan perusahaan aplikasi sejak dahulu tanpa ada paksaan dari siapapun.  Dengan demikian, tuntutan untuk serta-merta diubah menjadi karyawan tetap bukan hanya tidak logis tapi juga mengabaikan konsekuensi masif yang mungkin muncul: potensi penyusutan jumlah mitra akibat standar kerja yang ketat, evaluasi kinerja, dan proses rekrutmen yang lebih sulit, yang justru akan memukul mayoritas pengemudi. 

Keempat, intervensi negara yang serampangan dan tidak berbasis data, yang sering menjadi salah satu tuntutan dari demo para pengemudi ojol, sebenarnya justru hanya akan memperkeruh keadaan.  Sejarah mencatat, regulasi tarif yang kaku justru hampir selalu kontraproduktif. Sebagai contoh, studi Berly Anindya S.W. dari IAIN Purwokerto terhadap dampak Keputusan Menteri Perhubungan KP 348 Tahun 2019 menemukan bahwa regulasi tarif yang diatur dalam Keputusan Menteri tersebut justru menyebabkan penurunan jumlah pesanan dan pendapatan bagi pengemudi di Purwokerto karena kenaikan harga membuat konsumen mengurangi frekuensi penggunaan. Tuntutan agar pemerintah "membereskan" segalanya dengan regulasi sapu jagat merupakan ilusi yang berbahaya.  Tuntutan yang lahir dari pembacaan yang parsial, emosional, dan abai terhadap nalar ekonomi serta kompleksitas pasar, justru berisiko menjadi bumerang yang menghancurkan sumber penghidupan para pengemudi itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun