Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Shalom" dalam Ucapan Pejabat Publik Bukanlah Salam Umat Kristen

13 Mei 2025   13:24 Diperbarui: 13 Mei 2025   13:24 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Abdurrahman Wahid dikenal sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, yang turut memperkenalkan salam agama keindonesiaan (Populis.id)

Praktik pejabat publik Indonesia membuka pidato atau sambutan resmi dengan rangkaian salam lintas agama telah menjadi pemandangan umum. Ucapan "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan" sering terdengar di berbagai forum, dari tingkat daerah hingga nasional. Praktik ini dimaksudkan sebagai simbol persatuan, wujud toleransi, dan bentuk penghormatan terhadap kemajemukan agama yang menjadi kekayaan bangsa, selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tujuannya pun mulia: memperkuat harmoni dan menebar rasa damai di tengah masyarakat yang beragam. Dalam rangkaian salam tersebut, ucapan "Shalom" lazimnya ditujukan sebagai representasi salam bagi umat Kristiani, baik Katolik maupun Protestan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah "Shalom" merupakan salam yang paling tepat dan representatif bagi umat Kristiani dalam konteks keindonesiaan?

Salam Pembuka Pejabat: Cerminan Kerukunan atau Kerancuan?

Praktik pengucapan salam lintas agama oleh pejabat publik mengemuka dan meluas, terutama sejak era Reformasi. Ini merupakan upaya sadar untuk menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan merawat inklusivitas di negara yang sangat beragam ini. Banyak pihak memandang positif praktik ini sebagai cara konkret untuk menebar rasa damai, saling menghormati antarumat beragama, dan memperkuat tenun kebangsaan. Pejabat pemerintah, dari tingkat terendah hingga Presiden, kerap menggunakannya dalam acara formal maupun nonformal, dan masyarakat pun semakin terbiasa mendengarnya. Dorongan untuk menampilkan kerukunan melalui ritual publik semacam ini memang patut dihargai. Namun, semangat inklusivitas terkadang dapat mengesampingkan ketelitian dalam penggunaan terminologi agama yang spesifik. Fokus pada simbolisme harmoni bisa jadi membuat kita kurang cermat dalam memilih kata yang paling akurat mewakili setiap tradisi. Pejabat negara, dalam niat baiknya untuk merangkul semua golongan, mungkin mengadopsi salam lintas agama ini dengan asumsi bahwa istilah yang dipilih sudah tepat. Akan tetapi, pemilihan istilah yang kurang pas justru berpotensi menimbulkan kerancuan alih-alih kejelasan.

Dalam konteks ini, penggunaan "Shalom" sebagai salam yang mewakili umat Kristiani menjadi titik fokus perhatian. "Shalom" memang seringkali diasosiasikan atau bahkan disandingkan dengan "Salam Sejahtera" sebagai salam Kristiani dalam praktik di Indonesia. Namun, menempatkan "Shalom" sebagai representasi utama bagi umat Kristiani dalam salam kenegaraan sesungguhnya problematis. Alasannya terletak pada akar sejarah dan makna fundamental kata tersebut yang lebih terikat erat dengan tradisi Yahudi, bukan tradisi Kristen secara primer. Sebagaimana dicatat dalam berbagai kajian teologis, penggunaan kata "Shalom" () sebagai salam di kalangan Kristen justru mempersempit pemahaman maknanya dan menimbulkan kerancuan, karena kata ini sejatinya secara tradisional digunakan sebagai salam antar-sesama orang Yahudi. Sementara itu, pejabat negara, ketika berbicara di ruang publik, bertindak atas nama negara yang mengakui dan menghormati keberagaman agama. Tanggung jawab representasi ini menuntut tingkat akurasi dan kehati-hatian tertentu, sejalan dengan prinsip netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak boleh diskriminatif atas dasar agama.

Akar Yahudi "Shalom" dan Kekhasan "Salam Sejahtera" Indonesia

Di sisi lain, "Salam Sejahtera" sebenarnya lebih tepat dalam mewakili salam umat Kristen di Indonesia. Penggunaannya berakar dalam bahasa yang dipahami luas di Indonesia dan tetap mewakili pesan inti dalam Perjanjian Baru. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada damai sejahtera yang berasal dari Allah melalui karya penebusan Yesus Kristus. Damai sejahtera ini dipahami sebagai kondisi relasi yang harmonis antara manusia dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan. "Salam Sejahtera" sendiri diambil dari dua kata yang digabung dengan makna yang menunjukkan penghormatan dan harapan baik. "Salam", berasal dari bahasa Arab, bermakna damai, selamat, atau penghormatan. "Sejahtera", berasal dari kata "catera" dalam bahasa Sanskerta yang diserap melalui bahasa Melayu/Indonesia, berarti aman sentosa, makmur, dan selamat terlepas dari gangguan. Gabungan keduanya dalam frasa "Salam Sejahtera bagi kita semua" secara umum dipahami sebagai harapan atau doa agar semua yang hadir berada dalam keadaan damai, aman, makmur, dan selamat. Frasa ini juga telah lazim digunakan oleh dan untuk komunitas Kristiani di Indonesia sebagai salam pembuka atau penutup. Penggunaannya bahkan tercatat secara historis dalam praktik salam lintas agama yang dipopulerkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Pemilihan frasa ini juga bersifat lebih spesifik dengan tradisi, konotasi teologis, dan kultur umat Kristiani di Indonesia.

Sementara itu, "Shalom" merupakan kata dalam Bahasa Ibrani yang memiliki makna jauh lebih kaya daripada sekadar "damai" dalam arti ketiadaan konflik. Istilah ini merujuk pada konsep keutuhan, kelengkapan, kesejahteraan, dan keselamatan yang bersifat holistik, mencakup aspek material, fisik, sosial, hingga spiritual. Dalam tradisi Yahudi, penggunaan "Shalom" sangat luas dalam liturgi dan kehidupan sehari-hari, seperti dalam sapaan "Shalom aleichem" yang berarti "Damai sertamu" atau "Shabbat Shalom" yang artinya "Salam Sabat". Berbagai teks Perjanjian Lama menunjukkan penggunaan "Shalom" untuk menanyakan kabar (seperti pada Kejadian 37:14), mendoakan kesuksesan dan keberhasilan (1 Samuel 1:17), menandakan keselamatan dari bahaya fisik seperti perang (1 Raja-raja 1:17), serta menggambarkan hubungan sosial yang baik dan adil anta- individu atau bangsa (1 Raja-raja 5:12). Memang benar bahwa konsep "Shalom" juga memiliki tempat penting dalam teologi Kristen. Akan tetapi, memilih frasa ini tidak bersifat spesifik serta kurang menghargai konteks lokal dan proses pemaknaan yang terjadi di Indonesia.

Salam Seremonial di Tengah Realitas Diskriminasi

Meskipun demikian, pertanyaan mendasar yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah "apakah gestur semacam ini tidak berisiko menjadi sekadar "pencitraan" atau virtue signaling semata, ketika diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, yang bahkan terkadang dilegitimasi oleh kebijakan resmi, masih menjadi kenyataan pahit?" Kilau retorika inklusif di mimbar-mimbar resmi menjadi ironis jika tidak diiringi dengan penegakan hak-hak dasar kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi semua warga negara secara adil. Simbolisme harmoni terasa hampa ketika berbagai kebijakan dan implementasinya justru melanggengkan diskriminasi. Telah terdapat beberapa contoh kebijakan resmi yang kerap dikritik karena berpotensi atau telah menimbulkan diskriminasi. Sebagai contoh, Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sering dianggap multitafsir dan digunakan untuk menarget kelompok minoritas atau individu dengan pandangan berbeda. KUHP baru yang akan berlaku pada 2026 bahkan memperluas pasal terkait penodaan agama dan kriminalisasi apostasi. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006) sering menjadi penghalang bagi minoritas dalam mendirikan tempat ibadah karena persyaratan yang sulit dipenuhi dan memberi ruang veto bagi kelompok mayoritas. Meskipun ada kemajuan bagi aliran kepercayaan, negara juga secara resmi hanya mengakui enam agama, yang masih menyulitkan penganut agama/kepercayaan lain dalam administrasi dan penerimaan sosial. Selain itu, kelompok agama tertentu, seperti Komunitas Ahmadiyah, secara konsisten menghadapi diskriminasi melalui SKB Tiga Menteri tahun 2008 yang melarang aktivitas mereka yang dianggap menyimpang, yang sering dijadikan legitimasi tindakan intoleran. Beberapa Perda bernuansa agama tertentu atau diskriminatif lainnya juga dilaporkan merugikan kelompok minoritas di Indonesia.

Praktik pengucapan salam lintas agama sendiri juga menjadi subjek perdebatan, terutama pasca fatwa MUI yang menyatakan haram mencampuradukkan salam berdimensi doa agama lain, dengan alasan salam merupakan ibadah yang tidak boleh dicampuradukkan. Fatwa ini ditanggapi beragam, dengan sebagian pihak, termasuk dari pemerintah, menekankan aspek sosiologis dan toleransi dari praktik tersebut. Dalam konteks ini, upaya memperbaiki diksi salam, seperti mengganti "Shalom" dengan "Salam Sejahtera," akan kehilangan makna substansialnya jika tidak disertai komitmen nyata untuk membongkar akar diskriminasi yang tertanam dalam kebijakan dan praktik negara. Fokus pada simbol tanpa menyentuh substansi berisiko memperkuat kesan virtue signaling. Pada akhirnya, salam yang paling tulus harus disertai dengan tindakan nyata untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hukum bagi setiap individu dan kelompok, apapun agama atau keyakinannya. Kerukunan sejati tidak lahir dari salam seremonial semata, tetapi dari jaminan bahwa setiap warga negara dapat menjalankan keyakinannya dengan aman dan setara di hadapan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun