Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jebakan Ilusi Digital dan Kebodohan Perekrut dengan Praktik "Cybervetting"

28 April 2025   12:47 Diperbarui: 29 April 2025   12:37 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Cybervetting" yang banyak dilakukan perusahaan atau organisasi terhadap pencari kerja | iStock


Dalam perburuan tanpa henti mencari kandidat "sempurna", semakin banyak perusahaan atau organisasi yang terjerumus ke dalam praktik pengecekan media sosial terhadap para pencari kerja sebagai bagian dari proses rekrutmen, atau yang dikenal sebagai "cybervetting". 

Praktik ini sudah merajalela dengan CareerBuilder memperkirakan terdapat lebih dari 70% pemberi kerja yang "mengintip" kehidupan daring kandidat, bahkan Zippia menyebut 94% perekrut memanfaatkan platform sosial, terutama LinkedIn, Facebook, and Twitter/X. 

Ini merupakan lonjakan gila-gilaan dibandingkan tahun 2009, ketika hanya 45% pemberi kerja yang menggunakan media sosial untuk membantu proses perekrutan mereka menurut Olivas-Lujan & Bondarouk (2013). 

Dalihnya pun selalu terdengar manis: memvalidasi kualifikasi, menilai profesionalisme (seolah bisa dilihat dari foto liburan), memastikan kandidat tidak mengunggah konten kasar, atau mencari "tanda bahaya" yang definisinya relatif kabur. Pemberi kerja naif ini berharap remah-remah digital ini menjadi jalan pintas, bola kristal murahan untuk membaca karakter, kecocokan, dan kinerja masa depan.

Ketergantungan massal pada "pengintaian" kehidupan pribadi secara daring dari pelamar bukan hanya sesat pikir, tapi merupakan pendekatan penilaian talenta yang secara fundamental tolol, malas, dan penuh bahaya. Ini merupakan praktik yang dibangun di atas fondasi keropos, asumsi cacat, dan angan-angan kosong. 

Aktivitas ini seakan menjanjikan wawasan mendalam, tapi nyatanya hanya menyajikan kebisingan subjektif, potensi diskriminasi terang-terangan, dan risiko hukum yang signifikan. Ia berkedok sebagai kehati-hatian (due diligence) padahal secara aktif menyabotase tujuan rekrutmen yang efektif dan adil, mencerminkan kegagalan berpikir kritis yang parah dalam praktik rekrutmen modern. 

Seluruh pembenaran untuk penyaringan media sosial ini bergantung pada kemampuannya yang katanya bisa memprediksi siapa yang akan sukses di pekerjaan. Namun, bukti ilmiah memberikan vonis telak: metode ini tidak berguna. 

Tinjauan sistematis dan riset meta-analisis menemukan bahwa validitas terkait kriteria dari asesmen media sosial untuk memprediksi hasil kerja secara konsisten "kecil atau mendekati nol". Dengan kata lain, menelusuri Facebook atau LinkedIn kandidat sama sekali tidak memberi tahu pemberi kerja, apa pun tentang kemampuan kerja dari para kandidat.

Ironisnya, mayoritas perekrut tetap percaya mereka melakukan penyaringan efektif dengan cara ini. Kesenjangan antara praktik dan fakta ini menunjukkan irasionalitas mendalam dalam tren SDM, yang lebih memilih ilusi ketelitian daripada efektivitas terbukti. Lebih parah lagi, reliabilitasnya, yang seharusnya menjadi syarat mutlak validitas, juga buruk. 

Riset menunjukkan bahwa reliabilitas penilai tunggal dari asesmen media sosial sebagian besar buruk, serta dua perekrut melihat profil yang sama bisa menghasilkan kesimpulan berbeda dan tidak konsisten. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun