Mohon tunggu...
Andi Ronaldo
Andi Ronaldo Mohon Tunggu... Konsultan manajemen dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Writing is not just a hobby, but an expression of freedom. Through words, we can voice our thoughts, inspire change, and challenge boundaries without fear of being silenced.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tinjauan Bukti Sejarah, Alkitabiah, dan Ilmiah dari Penyaliban Yesus

18 April 2025   12:53 Diperbarui: 18 April 2025   12:53 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan pada film The Passion of the Christ, yang menggambarkan perjalanan sengsara Yesus menurut Injil dan catatan sejarah (The Wall Street Journal)

Penyaliban merupakan sebagai salah satu metode hukuman mati paling keji dalam sejarah, suatu praktik yang tak terpisahkan dari kekuasaan dan kebrutalan Kekaisaran Romawi hingga praktiknya dihapuskan oleh Kaisar Konstantinus Agung pada tahun 337. Sejarawan Yahudi abad pertama, Josephus, menggambarkannya sebagai "kematian paling celaka" (War 7.203), sebuah hukuman yang dirancang tidak hanya untuk membunuh, tetapi juga menimbulkan penderitaan maksimal, penghinaan publik, serta berfungsi sebagai pencegah terhadap pemberontakan dan perlawanan terhadap Kaisar. Meskipun disempurnakan dan digunakan secara luas oleh Romawi selama sekitar 500 tahun, penyaliban sendiri telah dipraktikkan oleh sejumlah bangsa di luar Roma. Sumber-sumber sejarah menunjukkan penggunaannya oleh bangsa Asyur dan Babilonia, dengan penerapan sistematis oleh Persia sejak abad ke-6 SM. Alexander Agung kemudian memperkenalkannya ke Mediterania timur, serta bangsa Fenisia dan Kartago membawanya ke Roma sekitar abad ke-3 SM. Roma mengadopsi dan menyempurnakan praktik ini, menggunakannya secara ekstensif hingga penghapusannya setelah Kekaisaran tersebut mengadopsi Kekristenan sebagai agama resmi negara.

Proses penyaliban ala Romawi biasanya dimulai jauh sebelum korban mencapai salib. Pencambukan pendahuluan (verberatio) menjadi praktik standar, dimaksudkan untuk melemahkan individu terhukum dengan menggunakan flagrum (atau flagellum), cambuk pendek dengan beberapa tali kulit yang ditanami potongan tulang tajam atau bola besi kecil (plumbatae). Korban ditelanjangi, diikat ke tiang, dan dicambuk di punggung, pantat, dan kaki, oleh dua tentara (lictores). Pencambukan brutal ini dirancang untuk merobek daging, serta menyebabkan memar dalam dan pendarahan hebat. Bahkan, beberapa catatan menggambarkan korban dicambuk hingga tulang terlihat atau isi perut menjadi tampak. Kehilangan darah yang signifikan menyebabkan syok hipovolemik atau kondisi pra-syok sebelum penyaliban itu sendiri dimulai. Setelah pencambukan, terhukum biasanya dipaksa membawa alat eksekusinya ke lokasi, yang terletak di luar tembok kota untuk visibilitas publik maksimum. Korban umumnya membawa palang horizontal, yang dikenal sebagai patibulum (34-57 kg) atau terkadang salib lengkap yang berbobot lebih dari 136 kg. Patibulum tersebut diletakkan di tengkuk leher dan diseimbangkan di bahu, dengan lengan seringkali diikat pada kayu tersebut. Kayu berat dan kasar yang bergesekan dengan luka terbuka akibat cambukan akan menambah penderitaan.

Di tempat eksekusi, korban biasanya ditelanjangi sebagai elemen kunci dari penghinaan publik, kecuali adat setempat menentukan secara berbeda. Terhukum juga mungkin ditawari campuran anggur dengan mur atau empedu sebagai analgesik ringan, meskipun catatan Injil menunjukkan Yesus menolaknya (Markus 15:23, Matius 27:34). Korban kemudian dipaksa ke tanah dan lengan mereka yang terentang dipasang ke patibulum. Meskipun tali dapat digunakan, pemakuan merupakan metode Romawi yang lebih disukai. Paku besi runcing, sepanjang 13-18 cm dengan batang persegi, umumnya ditancapkan melalui pergelangan tangan, di ruang antara tulang radius dan ulna. Patibulum, dengan korban terpasang, kemudian diangkat ke tiang tegak. Kaki selanjutnya dipaku ke bagian depan stipes. Bukti arkeologis dari temuan Jehohanan menunjukkan paku dapat ditancapkan secara lateral melalui tulang tumit (kalkaneus), dengan plakat kayu (dari pohon zaitun) di bawah kepala paku untuk mencegah korban melepaskan diri. Struktur salib Romawi juga bervariasi; Seneca Muda menyebutkan salib "dibuat dalam banyak cara berbeda," termasuk posisi terbalik atau ditusuk. Bentuk umum termasuk crux simplex (tiang tunggal), crux commissa (berbentuk T), dan crux immissa (), yang paling dikenal dalam ikonografi Kristen.

Penyaliban lebih dari sekadar eksekusi; itu merupakan pertunjukan kekuasaan Romawi yang diperhitungkan, dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan maksimal dan degradasi publik. Korban menanggung kematian yang lambat dan menyiksa, berlangsung dari beberapa jam hingga berhari-hari, tergantung pada kondisi fisik mereka dan tingkat keparahan cambukan sebelumnya. Sifat publik dari eksekusi, seringkali di sepanjang jalan utama seperti Via Appia di mana 6.000 budak pemberontak pengikut Spartacus disalibkan pada 71 SM, memastikan tontonan itu berfungsi sebagai peringatan kuat terhadap penentangan kekuasaan Romawi. Penghinaan berlanjut setelah kematian, karena mayat biasanya dibiarkan di salib untuk membusuk dan dimakan oleh binatang, menolak penguburan yang layak bagi korban -- hal yang sangat penting dalam budaya kuno. Josephus mencatat kengerian selama Pengepungan Yerusalem (70 M) ketika tentara Romawi menyalibkan begitu banyak orang Yahudi (hingga 500 per hari) hingga "tidak ada ruang untuk salib, dan tidak ada salib untuk mayat".

Sifat ekstrem penyaliban berarti hukuman ini diperuntukkan bagi mereka yang dianggap sebagai elemen masyarakat terendah atau ancaman langsung terhadap tatanan Romawi. Korban tipikal termasuk budak, orang asing tanpa hak hukum Romawi (peregrini), pemberontak provinsi, agitator politik, bajak laut, tentara yang dipermalukan, dan, kemudian, orang Kristen yang dianggap merusak tradisi dan otoritas Romawi. Contoh historis lainnya selain kisah Yesus termasuk Quintilius Varus yang menyalibkan sekitar 2.000 pemberontak Yahudi setelah kematian Herodes Agung (4 SM) serta gubernur Felix yang menyalibkan sejumlah besar "perampok" dan rekan mereka di Yudea. Warga negara Romawi umumnya dilindungi dari summum supplicium (hukuman ekstrem) ini, kecuali dalam kasus pengkhianatan tingkat tinggi (maiestas) atau desersi militer. Penerapan hukuman ini pada Yesus, yang dituduh melakukan penghasutan (seditio) karena mengklaim sebagai raja, dengan jelas menandainya di mata Romawi sebagai musuh negara, membenarkan bentuk eksekusi paling brutal ini. Bahkan orang Romawi, yang terbiasa dengan kekerasan arena, memandang penyaliban dengan kengerian khusus. Cicero menulis pada abad ke-1 SM, "Biarlah nama salib itu sendiri dijauhkan tidak hanya dari tubuh warga negara Romawi, tetapi bahkan dari pikiran, mata, telinga mereka" (Pro Rabirio Perduellionis Reo 5.16).

Penyaliban Yesus dalam Teks dan Sejarah

Penyaliban Yesus Kristus, yang dilakukan di bawah otoritas prefek Romawi Pontius Pilatus sekitar tahun 30-33 M, bisa dibilang merupakan contoh paling terkenal dari hukuman kuno ini. Sumber utama yang merinci peristiwa ini meliputi empat Injil kanonik Perjanjian Baru: Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Meskipun ditulis dari perspektif iman, dokumen-dokumen ini memberikan catatan naratif yang dapat dianalisis bersama referensi sejarah non-alkitabiah dan pengetahuan tentang praktik Romawi. Pilatus menjabat sebagai prefek (gubernur militer) Yudea dari tahun 26 hingga 36/37 M di bawah Kaisar Tiberius. Gelar "prefek" ini dikonfirmasi oleh sebuah inskripsi yang ditemukan di Kaisarea Maritima, pusat administrasi Romawi di Yudea. Injil menyajikan urutan peristiwa yang secara luas konsisten menuju kematian Yesus: penangkapannya, interogasi oleh otoritas Yahudi (Sanhedrin), pengadilan di hadapan Pontius Pilatus, pencambukan oleh tentara Romawi, perjalanan ke tempat eksekusi (Golgota), penyaliban di antara dua individu lain, kematian, dan penguburan selanjutnya.

Peristiwa kunci yang dijelaskan meliputi pengadilan di hadapan Pilatus, di mana tuduhan penghasutan (seditio), yang terangkum dalam gelar "Raja Orang Yahudi" (INRI: Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum dalam versi Yohanes 19:19), menjadi dasar eksekusi Romawi. Sebagai peregrinus (non-warga negara Romawi), Yesus tidak mungkin diadili atas maiestas (pengkhianatan tingkat tinggi terhadap Kaisar), tuduhan yang biasanya diperuntukkan bagi warga negara Romawi. Pilatus, yang digambarkan oleh sejarawan Yahudi kontemporer Philo dan Josephus sebagai penguasa yang keras kepala, kejam, dan tidak sensitif terhadap adat Yahudi, menjadi sosok dengan wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati (ius gladii) pada masa itu. Catatan historis menyebutkan insiden di mana Pilatus memprovokasi kerusuhan, seperti membawa panji-panji militer bergambar kaisar ke Yerusalem atau menggunakan dana Bait Suci (korban) untuk membangun saluran air, yang menunjukkan kecenderungannya untuk bentrok dengan penduduk setempat. Injil menggambarkan Pilatus ragu-ragu (Matius 27:24, Lukas 23:14-16, Yohanes 19:4-6), karena ia tidak melihat Yesus sebagai ancaman politik nyata atau pertimbangan politik yang kompleks, namun akhirnya menyerah pada tekanan massa dan para pemimpin Yahudi. Yesus dicambuk dan diejek dengan simbol kerajaan: mahkota duri dan jubah ungu atau merah kirmizi. Perjalanan ke Golgota ("Tempat Tengkorak" dalam bahasa Aram) melibatkan Simon dari Kirene yang dipaksa membawa salib Yesus dalam Injil Sinoptik (Matius 27:32, Markus 15:21, Lukas 23:26). Lokasi Golgota ini umumnya dipercaya di dalam Gereja Makam Kudus (yang berada di luar tembok kota abad pertama), yang saat ini menjadi objek ziarah atau wisata rohani bagi umat Kristen dari seluruh dunia.

Saat penyaliban, Yesus ditawari anggur bercampur zat pahit (empedu atau mur), yang ditolaknya hingga Ia dipaku di kayu salib. Para prajurit membagi pakaiannya dan membuang undi untuk jubahnya yang tak berjahit (Yohanes 19:23-24), sebuah detail yang menggemakan Mazmur 22:18. Sebuah titulus crucis, tulisan yang menyatakan tuduhan, ditempatkan di salib. Kata-katanya sedikit bervariasi, seperti pada Matius 27:37 ("Inilah Yesus Raja Orang Yahudi"), Markus 15:26 ("Raja Orang Yahudi"), Lukas 23:38 ("Inilah Raja Orang Yahudi," mencatat dalam bahasa Yunani, Latin, dan Ibrani/Aram), dan Yohanes 19:19 ("Yesus dari Nazaret, Raja Orang Yahudi," juga mencatat tiga bahasa). Yesus disalibkan di antara dua penjahat (lestai, yang bisa berarti perampok atau pemberontak); dengan Lukas 23:39-43 menceritakan dialog pertobatan salah satu penjahat. Markus 15:25 menempatkan penyaliban pada "jam ketiga" (sekitar pukul 9 pagi), sementara Yohanes 19:14 menyebutkan "jam keenam" (sekitar tengah hari) sebagai waktu penghakiman akhir Pilatus. Injil Sinoptik mencatat kegelapan meliputi tanah dari jam keenam hingga kesembilan (siang hingga pukul 3 sore). Tujuh perkataan terakhir dari salib dicatat di keempat Injil dan Yesus akhirnya meninggal sekitar jam kesembilan (pukul 3 sore). Injil Sinoptik melaporkan robeknya tabir Bait Suci, dan seorang perwira Romawi mengakui keilahian atau kebenaran Yesus (Matius 27:54, Markus 15:39, Lukas 23:47). Catatan Yohanes merinci adanya crurifragium (pematahan kaki) pada penjahat lain untuk mempercepat kematian menjelang Sabat, tetapi karena Yesus sudah mati, kakinya tidak dipatahkan; sebaliknya, lambungnya ditikam tombak, mengeluarkan "darah dan air" (Yohanes 19:31-34). Yusuf dari Arimatea kemudian menguburkan jenazah Yesus di sebuah makam baru yang dipahat dari batu. Di luar Perjanjian Baru, sejarawan Romawi Cornelius Tacitus, dalam Annals (ditulis sekitar 116 M), mengonfirmasi bahwa "Kristus menderita hukuman ekstrem selama pemerintahan Tiberius di tangan salah satu prokurator kita, Pontius Pilatus..." (Annals 15.44). Ini menjadi konfirmasi eksternal yang kuat tentang eksekusi Yesus di bawah Pilatus. Sejarawan Yahudi Flavius Josephus, dalam Antiquities of the Jews (sekitar 93-94 M), dalam bagian yang dikenal sebagai Testimonium Flavianum, pada intinya menyebutkan Yesus sebagai orang bijak dan guru yang dihukum mati di kayu salib oleh Pilatus atas tuduhan dari tokoh-tokoh Yahudi terkemuka. Sumber-sumber non-Kristen ini secara independen memvalidasi kerangka historis dasar yang disajikan dalam Injil.

Wawasan Ilmiah dan Arkeologis dari Eksekusi Yesus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun