Di Indonesia, terdapa beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) merayakan dies natalis atau hari jadi mereka berdasarkan tanggal ketika PTN tersebut secara resmi diakui sebagai institusi publik, bukan dari tanggal pendirian aslinya. Tradisi yang tampaknya sepele ini sebenarnya mencerminkan kecenderungan nasional yang lebih luas dalam mengabaikan atau kurang menghargai kontinuitas sejarah, yang pada akhirnya membentuk cara masyarakat Indonesia mengingat masa lalu dan mendefinisikan identitas mereka.
Menulis Ulang Masa Lalu Demi Kepentingan Masa Kini
Salah satu contoh paling mencolok dari fenomena ini datang dari Universitas Indonesia (UI), yang asal-usulnya sebenarnya dapat ditelusuri kembali ke tahun 1849 dengan pendirian sekolah kedokteran, STOVIA, oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, UI secara resmi merayakan dies natalis berdasarkan tahun 1950, ketika universitas ini sepenuhnya diintegrasikan sebagai PTN setelah kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Pola serupa terjadi pada Institut Teknologi Bandung (ITB), yang berkembang dari Technische Hoogeschool te Bandoeng yang didirikan pada tahun 1920. ITB memilih merayakan hari jadinya dari tahun 1959, saat direstrukturisasi menjadi PTN. Universitas Airlangga (UNAIR), yang didirikan pada tahun 1954, memiliki garis akademik yang dapat ditelusuri hingga tahun 1847, tetapi lebih menonjolkan transformasinya setelah kemerdekaan. Itu sebabnya, Universitas Gadjah Mada (UGM), sering dianggap sebagai PTN tertua di Indonesia, yang secara resmi didirikan pada tahun 1949.
Keputusan untuk merayakan hari jadi berdasarkan status PTN daripada tanggal pendirian asli bukanlah hal yang kebetulan. Ini sangat terkait dengan upaya pembentukan identitas nasional pasca-kemerdekaan, yang bertujuan untuk memutus hubungan dengan warisan kolonial. Banyak institusi akademik ternama di Indonesia berasal dari pusat pendidikan era kolonial, dan dengan menonjolkan momen ketika mereka menjadi PTN, institusi pendidikan tinggi ini memperkuat narasi kedaulatan nasional dan kemerdekaan. Penentuan ulang asal-usul sejarah ini juga merupakan akibat dari formalitas administratif, karena pengakuan hukum atas institusi-institusi ini dalam undang-undang di Indonesia sering kali dimulai sejak mereka mendapatkan status PTN, yang secara efektif mengabaikan eksistensi sebelumnya. Di luar pertimbangan hukum dan politik, praktik ini juga berfungsi sebagai strategi pencitraan institusi, menyelaraskan PTN ini dengan narasi pembangunan nasional yang lebih luas dan menekankan peran mereka dalam Indonesia modern dibandingkan dengan akar kolonial mereka.
Kontras dengan Kota yang Menghormati Sejarah Panjang Mereka
Sementara institusi pendidikan tinggi cenderung menghapus atau mengecilkan akar kolonial mereka demi menonjolkan status pasca-kemerdekaan, kota-kota di Indonesia justru mengikuti pola yang sangat berbeda. Berbeda dengan PTN yang lebih memilih menekankan identitas nasional modernnya, banyak kota di Indonesia dengan bangga merayakan sejarah panjang mereka, bahkan yang jauh mendahului berdirinya Indonesia sebagai suatu identitas kenegaraan ataupun kebangsaan. Jakarta, misalnya, tidak merayakan hari jadinya dengan tahun setelah kemerdekaan ataupun pengakuan kota ini sebagai ibukota nasional, tetapi menelusuri asal-usulnya kembali pada 22 Juni 1527, ketika kota yang saat itu bernama Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta oleh Fatahillah setelah kemenangan Kesultanan Demak atas Kerajaan Sunda. Demikian pula, Surabaya merayakan hari jadinya pada 31 Mei 1293, menghubungkannya dengan kemenangan legendaris Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya atas invasi Jawa oleh Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan. Palembang, yang diakui sebagai kota tertua di Indonesia, dengan bangga mengakui akarnya sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya, secara resmi mengakui pendiriannya pada tahun 682 yang didasarkan pada Prasasti Kedukan Bukit. Bandung, meskipun berkembang pesat di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad ke-19, tetap mengakui tahun 1810 sebagai tahun pendiriannya. Medan, yang menjadi kota perkebunan penting pada akhir abad ke-19 di bawah kolonial Belanda, menandai pendiriannya pada tahun 1590 ketika Guru Patimpus mendirikan pemukiman pertama di sana.
Kontras antara cara PTN dan kota menangani sejarah mereka sangat mencolok. Kota-kota di Indonesia tidak ragu untuk merayakan warisan mereka yang panjang, bahkan jika itu berarti mengakui masa lalu kolonial atau kerajaan yang mendahului Indonesia sebagai negara modern. Kota-kota ini memahami bahwa sejarah yang panjang dapat menjadi kebanggaan dan memperkuat identitas lokal serta daya tarik wisata, sehingga mereka aktif dalam menjaga narasi historis mereka. Sementara itu, PTN tampaknya mengambil pendekatan yang lebih selektif, menyoroti hanya aspek sejarah yang selaras dengan narasi nasionalisme pasca-kemerdekaan. Dengan mengabaikan periode kolonial dalam sejarah mereka, PTN ini secara tidak langsung menciptakan kesenjangan dalam pemahaman sejarah pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kontinuitas sejarah dihargai secara selektif di Indonesia---dihormati dalam kasus yang memperkuat kebanggaan nasional tetapi diabaikan ketika menyangkut institusi yang memiliki keterkaitan dengan administrasi kolonial. Akibatnya, banyak generasi muda yang tumbuh dengan pemahaman sejarah yang terfragmentasi, tanpa menyadari bahwa warisan kolonial juga turut membentuk institusi yang mereka banggakan saat ini.
Kemunafikan Amnesia Sejarah dan Warisan Kontradiktif Soekarno
Salah satu kontradiksi paling mencolok dalam pendekatan Indonesia terhadap sejarah dapat ditelusuri ke presiden pertama, Soekarno. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966, ia dengan terkenal menyatakan, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" atau "Jasmerah." Namun, di bawah kepemimpinannya, Indonesia justru secara aktif terlibat dalam penghapusan sejarah dan ingatan selektif demi membangun identitas nasional. Sementara Soekarno menyerukan pentingnya mengingat sejarah, pemerintahannya turut andil dalam meminimalkan pengaruh era kolonial, menata ulang narasi sejarah untuk kepentingan politik, dan memperkuat versi sejarah yang menekankan perjuangan kemerdekaan di atas segalanya. Paradoks ini mengungkap masalah yang lebih dalam dalam kesadaran nasional Indonesia---meskipun sejarah sering digunakan sebagai alat pembangunan negara, sejarah juga kerap dimanipulasi agar sesuai dengan ideologi kontemporer daripada dijaga dalam bentuk aslinya. Pemerintahan Soekarno sangat juga berperan dalam membentuk memori sejarah resmi Indonesia, memprioritaskan visi masa lalu yang mengagungkan perjuangan revolusi sambil mengecilkan elemen-elemen yang tidak sesuai dengan narasi nasionalis. Ini termasuk meremehkan peran institusi yang didirikan Belanda, meskipun banyak dari institusi tersebut menjadi dasar bagi pemerintahan, pendidikan, dan infrastruktur modern Indonesia. Kontradiksi antara ucapannya yang terkenal dan perlakuan negara terhadap sejarah mencerminkan kemunafikan nasional yang lebih besar---satu yang masih terus berlanjut dalam cara Indonesia mengakui, atau gagal mengakui, kontinuitas sejarahnya. Kecenderungan untuk menulis ulang atau mengabaikan kontinuitas sejarah pun memiliki dampak besar bagi Indonesia sebagai bangsa. Kurangnya kesadaran sejarah menyebabkan pemahaman yang dangkal tentang identitas nasional, di mana banyak orang Indonesia tidak menyadari sejarah mendalam di balik institusi, kota, dan warisan budaya mereka. Tanpa keterhubungan yang kuat dengan masa lalu, ada risiko mengabaikan kontribusi generasi sebelumnya, yang dapat menyebabkan keterputusan dalam warisan intelektual dan budaya. Hal ini juga dapat menghambat kemajuan, karena institusi dan pembuat kebijakan mungkin gagal belajar dari pengalaman masa lalu dan lebih berfokus pada menyusun ulang narasi daripada membangun di atas fondasi sejarah yang sudah ada. Untuk maju, Indonesia harus lebih menghargai narasi sejarahnya sendiri, tidak hanya mengenali momen-momen kemerdekaan dan transformasi tetapi juga perjalanan panjang dan kompleks yang membawanya ke titik tersebut. Dengan merangkul sejarah alih-alih menyusunnya ulang secara selektif, Indonesia dapat membangun identitas nasional yang lebih kuat dan terhubung, yang menghormati masa lalunya sebagai dasar bagi masa depannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI