Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Pengungkap informasi, perangkai cerita, dan pengagum tata visual

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Pekan Olahraga Nasional, Cita-Cita Awal dan Realitas yang Jauh Bergeser

23 September 2024   13:19 Diperbarui: 23 September 2024   13:19 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
GOR Bola Voli Indoor Sumut Sport Center, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga via CNN Indonesia)

Perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut Tahun 2024 telah resmi ditutup oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy pada 20 September 2024. Sejumlah hal menarik pun telah tersaji kepada masyarakat Indonesia, mulai dari Nurul Akmal yang menyulut api ke kaldron utama pada upacara pembukaan, gagalnya Veddriq Leonardo dalam meraih medali emas dalam nomor panjang tebing speed relay putra, keluarnya Jawa Barat sebagai "juara umum", hingga berbagai kontroversi akibat infrastruktur yang belum siap dan pengaturan pertandingan yang dianggap tidak adil. Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah penyelenggaran ajang utama multi-event olahraga yang sudah ada sejak 1948 ini? Mengapa PON yang konon dibentuk sebagai ajang pemersatu bangsa sekarang justru jadi ajang adu gengsi antar-provinsi belaka?

PON lahir sebagai manifestasi dari semangat kebangsaan dan usaha untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu bangkit dan bersatu melalui olahraga. Pada tahun 1946, Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) yang dibantu oleh Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) -- yang kemudian dilebur menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) -- berusaha mempersiapkan atlet-atlet Indonesia untuk mengikuti Olimpiade London 1948. Namun, berbagai rintangan politik dan diplomatik kala itu, termasuk ketidakmampuan Indonesia untuk mengirimkan atletnya akibat belum ada pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC), membuat rencana tersebut gagal, yang menjadi pemicu munculnya ide PON sebagai alternatif kebanggaan nasional.

Pada Konferensi Darurat PORI yang diadakan pada 1 Mei 1948 di Solo, diputuskan untuk menggelar ajang olahraga nasional guna menggantikan partisipasi Indonesia di Olimpiade. PON I akhirnya diselenggarakan pada 8-12 September 1948 di Solo dengan misi besar: membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia, meski sedang dalam tekanan setelah Perjanjian Renville, tetap bisa mengadakan acara olahraga berskala besar. Solo dipilih pada saat itu karena menjadi kota kedudukan PORI dan memiliki fasilitas olahraga terbaik di Indonesia.

Komersialisasi dan Prioritas Anggaran

Dahulu, PON digagas untuk menghidupkan kembali semangat nasionalisme dan persatuan melalui olahraga, tetapi kini ajang ini kerap dijadikan hanya sebagai wahana komersialisasi dan ajang politik. Anggaran yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur mewah kerap berlebihan dan tidak relevan, sering kali mengesampingkan pembinaan atlet daerah yang seharusnya menjadi prioritas utama dengan penyelenggaraaan PON. Ajang yang seharusnya memunculkan potensi atlet lokal kini lebih sering digunakan sebagai ajang pencitraan daerah dengan anggaran besar yang tak jarang mubazir. Banyak stadion dan fasilitas olahraga yang dibangun dengan dana besar namun kemudian mangkrak, tidak dimanfaatkan secara optimal setelah acara selesai.

Penyelenggaraan PON XX di Papua pada 2021 menjadi contoh nyata komersialisasi PON yang akhirnya menjadi kasus korupsi ironis. PON Papua menghabiskan anggaran sebesar Rp10,43 triliun yang diambil dari sejumlah pos APBN, termasuk Dana Otsus Papua sebesar Rp1,1 triliun. Ironisnya, penggunaan dana tersebut harus mengorbankan bantuan perbaikan gizi 'Anak Asli Papua'. Belum lagi, hal ini juga diikuti oleh kontroversi lainnya, kasus korupsi dengan kisaran Rp6 hingga 8 triliun dan melibatkan tokoh-tokoh penting di Papua dari proyek pembangunan infrastruktur dan operasional penyelenggaraan PON XX.

Minimnya Pembinaan Atlet Daerah dan Tidak Ada Translasi pada Kesuksesan Internasional

Cita-cita awal PON untuk membina dan mengembangkan kapasitas atlet-atlet lokal kini juga mulai memudar. Di banyak provinsi, demi ambisi memenangkan medali, daerah lebih memilih untuk "mengimpor" atlet dari provinsi atau bahkan negara lain, mengabaikan potensi lokal yang seharusnya dipupuk dan dikembangkan. Ini membuat PON kehilangan esensi sebagai ajang pencarian bakat nasional sekaligus upaya untuk melibatkan provinsi yang lebih beragam pada ajang internasional, seperti SEA Games, Asian Games, dan bahkan Olimpiade. Sebaliknya, kompetisi ini menjadi sekadar pameran kekuatan finansial yang tidak mencerminkan kualitas pembinaan daerah.

Kontingen Indonesia mengirimkan 29 atlet terbaik untuk berkompetisi dalam 12 disiplin olahraga di ajang Olimpiade Paris 2024. Tim ini terdiri dari 16 atlet putra dan 13 atlet putri yang siap mengharumkan nama bangsa. Jika kita melihat profil mendetail dari atlet yang bertanding, hanya 8 atlet atau kurang dari 28% kontingen Indonesia yang berasal dari provinsi-provinsi di luar Jawa. Sebagai perbandingan, enam provinsi di Jawa meraih 399 medali emas atau sekitar 58% dari total emas yang diperebutkan, seolah mengindikasikan pemerataan pembinaan atlet di Indonesia.

Selain itu, penyelenggaran pertandingan-pertandingan pada setiap edisi PON yang selalu dianggap berhasil juga tidak diikuti oleh kesuksesan tim nasional Indonesia pada ajang internasional. Dalam ajang SEA Games yang selalu didominasi oleh Indonesia hingga 1997, berbagai tim nasional olahraga kita belum mampu menciptakan kesuksesan gemilang lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun