Mohon tunggu...
Andika NugrahaFirmansyah
Andika NugrahaFirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Seorang pembelajar yang berteman dengan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Kesiswaan Menangani Konflik FPI Vs Polisi

8 Desember 2020   07:52 Diperbarui: 8 Desember 2020   07:57 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kumparan.com

Mengamati simpang siur berita disosial media mengenai baku tembak antara Pak Polisi dan Pak Anggota FPI memang memusingkan. Siapa yang benar? Saya kurang tahu karena tidak mengamati langsung di lapangan. Semenjak era ngotot-ngototan, merasa benar sendiri, Saya selalu berusaha mundur beberapa langkah. Mengambil jarak agar tidak salah dalam berkomentar atau berpendapat. Walaupun saya yakin tidak ada yang menanyai pendapat saya. Lha wong aku ke sopo? 

Tapi di tingkat cangkrukan kami, di kedai Cau nya Mas Wawa, Medono, banyak orang yang datang. Mereka silih berganti. Tak peduli siang atau malam. Nyangkruk, membicarakan hal-hal apa saja. Dari mulai yang lagi nge-hits, di tingkat RT hingga tingkat internasional. Sampai yang ndak ngehits seperti gerakan komunitas di bidang sosial dan pendidikan. Semua tema kami bicarakan dengan gaya guyonan dan sengak-sengakan yang khas Kota Pekalongan. Bayangkan betapa rahatnya.

Saya ingat ketika ngobrol soal kasus perkelahian anak. Kami semua flashback, mengingat kejadian serupa ketika kami sekolah dulu. Bagaimana penanganannya oleh guru-guru kami. Saya minim pengalaman gelut-gelutan seperti itu. Maklum saya terlanjur masuk ke sekolah dimana anak-anak tidak punya minat, bakat dan potensi berkelahi. Pernah sekali hampir tawuran antar sekolah, anak sekolah seberang ngajak backingane dan sekolah saya juga sama. 

Asas solidaritas dalam perkawanan, begitu dulu kami menyebutnya. Sempat diadang dengan membawa gear dan rantai. Saya jelas tidak ikutan, hla wong ukuran tumbuh saya kecil, kerempeng, bisa dipastikan saya malah tambah bikin susah teman-teman yang lain. Singkat cerita, kabarnya centeng-centeng dari kedua sekolah bersedia bertemu untuk klarifikasi masalah, dan ada yang menengahi. Saya tidak tahu siapa, karena tidak diikutkan dalam pertemuan tersebut. Alhamdulillah orak sido gelut.

Teman-teman yang lainnya juga bercerita tentang hal serupa dan bagaimana guru mereka bersedia ikut nyemplung, melerai dan menjadi mediator antara dua belah pihak. Saya langsung tertarik. Jarang-jarang ada guru yang mau seperti itu. Lha wong KBM yang wajib saja sering cuma diberi tugas, sementara gurunya tidak tahu kemana. Apalagi perkara seperti ini? 

Saya kemudian melanjutkan cerita pengalaman mengenai penanganan dua anak yang berkelahi. Singkat saja, karena saya guru matematika, maka si anak simbolkan X, Y, dan Z Saya ingin cerita agak panjang dan detail, tapi saya yakin njenengan sudah mulai bosan. Jadi intinya saja yaa. Si Z membaca curhatan si X di buku bagian belakang. Si Y tertawa sangat keras. Ternyata itu menyinggung perasaan si X. Si X merasa dipermalukan. 

Tidak terima, akhirnya si X memukuli si Y. Kejadian usai. Y menangis kesakitan. Kemudian ada guru yang lapor kepada saya. Saya harus mengambil tindakan. Saya berinisiatif untuk menyelesaikan masalah bersama guru BK dan Lurah Pondok. Si Y kami panggil untuk dimintai keterangan, setelah selesai giliran si X dimintai keterangan juga. 

Kemudian mereka berdua saling berargumen mengenai kronologi kejadian. Kami bertiga mengamati dan sekali dua berkomentar. Setelah tahu kronologinya, mereka bersepakat damai. X dan Y bersalaman, saling meminta dan memberi maaf. X berjanji tidak akan memukul Y atau siapapun lagi, Y juga berjanji akan lebih menjaga perbuatannya. Semuanya menang. Tak ada yang direndahkan.

Lha kasus Polisi vs FPI kapan? Sabar. Saya lanjutkan cerita saya dulu. Kan ini sambil nge CAU di Mas Wawa, jadi santai dong.

Minggu berganti, nyatanya si X berulah lagi. Dia melakukan pemukulan terhadap orang yang berbeda, si W. Alasannya sama, merasa harga dirinya tersinggung. Urusan harga diri memang selalu bikin repot. W terlihat bengkak hidungnya. Orang tuanya tidak terima. W tidak mau mengungkap kejadian karena tidak mau urusan berkepanjangan dengan X. Mata rantai yang harus diputus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun