Mohon tunggu...
Andi Ghina insyirah
Andi Ghina insyirah Mohon Tunggu... Lainnya - HTN B

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Andi GhinaInsyirah/HTNB

17 Oktober 2021   05:11 Diperbarui: 17 Oktober 2021   05:55 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Andi Ghina Insyirah
Kelas : HTN B
Nim : 2020020103059
Tugas resume!
DISKURSUS PENYATUATAPAN PERADILAN AGAMA DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG (STUDI HUKUM RESPONSIF)

Penyatuatapan peradilan agama dengan lembaga peradilan  lainnya dalam lingkup  Mahkamah Agung yang bebas campur tangan eksekutif dan legislatif.Hal ini menuai pro dan kontra.Hal ini bertujuan untuk menjadikannya lembaga yang mandiri dalam menegakkan hukum dan keadilan.Penyatuatapan ini menjadikan menjadikan sistem hukum lebih terbuka dan bertanggung jawab sesuai perkembangan masyarakat sekaligus peradilan agama sederajat dengan lembaga lainnya.

Persoalan satu atap ini fenomena lama dalam persoalan independensi kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif).Ajaran pemisahan kekuasaan (Montesquieu) pada dasarnya berintikan independensi masing-masing alat kelengkapan Negara (legislative, eksekutif, dan yudikatif). Montesquieu berpendapat bahwa setiap percampuran (di satu tangan) antara legislative, eksekutif, dan yudikatif (seluruh atau dua di antara tiga), dipastikan akan menimbulkan kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang.

Untuk mencegahnya maka harus dipisahkan(independent).terkait dengan wacana menjadikan seluruh lingkungan peradilan berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA), baik aspek judisialnya maupun aspek non-judisialnya, sudah lama muncul. Wacana ini terus bergulir dan selalu menimbulkan kontroversi. Satu pihak menghendaki agar seluruh peradilan berada satu atap di MA, sementara pihak lain menghendaki seperti keadaan selama ini, yaitu pembinaan teknis peradilan berada di MA, sedangkan pembinaan administrasi, organisasi dan finansial berada pada pemerintah.Selain itu sebenarnya penerapan peradilan satu atap di Indonesia ingin menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi.

Adapun probelem eksistensi peradilan agama di Indonesia dipengaruhi oleh faktor politik kolonial dan tiga sistem hukum di indonesia yang berlaku diantaranya hukum islam,hukup sipil dan hukum adat.Adapun Kebijakan Peradilan Satu Atap  ini untuk mencapai suatu tujuan.Sistem peradilan satu atap menghendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yaitu Mahkamah Agung.

Walaupun MUI pertamanya tidak ingin.Mereka menghawatirkan ciri-ciri khas peradilan Islam ini akan memudar dan akhirnya hilang, namun anehnya, mayoritas aparatur peradilan agama sendiri sebagaimana diwakili para ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia menghendaki penyatu atapan dilakukan dengan segera, alasan yang mendasarinya adalah masalah finansial yang terkait dengan pengelolaan peradilan agama itu sendiri yang dianggap sangat tidak memadai untuk sebuah sistem peradilan yang modern dan mandiri selama dibawah Departemen Agama (sekarang namanya Kementerian Agama). Pemisahan kekuasaan negara merupakan syarat mutlak bagi tegaknya demokrasi dan terciptanya supremasi hukum dalam sebuah negara hukum. Karena itu status dan kedudukan peradilan agama ketika sudah berada dibawah struktur kekuasaan kehakiman, merupakan wujud nyata dan tuntutan yang harus ada dari negara demokrasi dalam rangka menciptakan supremasi hukum.

Adapun yang timbul dari kebijakan satu atap,yang pertama kekuasaan legislatif dan eksekutif jadi murni,kedua konsekuensi pertanggung jawaban kehakiman,ketiga kekhawatiran sewenang wenangnya pengadilan atau hakim,keempat pengawasan hakim nakal menjadi sulit,kelima mempersingkat berbagai urusan.Penyatuatapan sebagai studi hukum responsif Penyatuan sistem satu atap, pembinaan teknis administrasi dan yudisial peradilan agama dikembangkan untuk optimalisasi keberadaan dan peranan Peradilan Agama sesuai dengan dinamika masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang beragama Islam. Hal ini juga berkonsekuensi pada pengaturan kelembagaan dan mekanisme kerja MA sehingga tuntutan reformasi telah mendapatkan respon dari pemerintah yang berkorelasi terhadap tuntutan keterbukaan dalam membangun hukum yang lebih responsif.

Pergeseran ini menyebabkan Peradilan Agama yang bersifat demokratis-responsif.Kaitan terhadap teori hukum responsif ini,menyatakan bahwa independensi lembaga peradilan menjadi suatu keharusan bagi setiap negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum, maka upaya penerapan peradilan satu atap di bawah Mahkamah Agung adalah merupakan keharusan, sebab negara yang memiliki independensi lembaga peradilan saja yang mampu menghantarkan negara itu melaksanakan hukum secara konsekuen yang melahirkan hukum yang responsif.Hukum ini berfokus pada hasil,kaitan teori ini menggambarkan bawah independensi terhadap lembaga peradilan menjadi keharusan yang mengklaim negaranya adalah negara hukum.Perubahan dibidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan dibawah Mahkamah Agung.

Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan dimasukannya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amendemen ketiga UUD NRI Tahun 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparan.

Penyatuatapan ini merupakan sebuah tuntutan dan keharusan.perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparen.Hal ini dikuatkan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa semua lingkungan peradilan, termasuk peradilan agama, pembinaan organisasi,administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah (Kementerian Agama) kepada Mahkamah Agung Dan pemindahan kewenangan pada bidang organisasi, administrasi, dan finansial lembaga peradilan dari eksekutif kepada yudikatif sebagaimana pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tersebut, dapat menguatkan pada proses pembinaan bidang teknis yudisial dan non teknis yudisial lembaga peradilan yang kini telah berada dalam satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Konteks tersebut merupakan bagian dari studi hukum responsif sebagaimana dalam pandangan teori hukum responsif dari Philippe Nonet & Philip Selznick.

Daftar pustaka
https://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php/al-adl/article/view/348/334

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun