Mohon tunggu...
Yuswandi
Yuswandi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relevansi Kitab "Ta'limul Muta'allim" di Era Mellenial

2 Maret 2019   11:03 Diperbarui: 2 Maret 2019   11:16 3216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tidak asing lagi dibenak kita mendengar kitab Ta'limu Muta'allim, di setiap pondok pesantren atau lembaga pasti dipelajari kita ini, bahkan di sebagian pondok mewajibkan santrinya untuk menghafal bait-bait kitab ini. Dalam kitab Ta'limul Muta'allim ini banyak sekali pelajaran yang dapat diambil oleh sang pelajar ataupun pengajar, dari mulai cara belajar sampai patner belajar.

Menurut Syekh al-Zarnuji belajar adalah berniat mencari ridha Allah, sebagai mana dijelaskan dalam kitabnya "Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. 

Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: "orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan." 

Dan dari sinilah letak perbedaan mendasar antara belajar yang dirumuskan oleh al-Zarnuji dengan para psikologi lainnya, dimana disana beliau membagi hukum mempelajari ilmu diantaranya  ada ilmu yang hukumnya wajib 'ain dipelajari, wajib kifaya, dan haram dipelajari.

Bertambah berkembangnya tekhnologi di era melenial ini berdampak dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun praktiknya. Apalagi kalau dihubungkan pada kitab Ta'limul Muta'allim sangatlah jauh, perlu kiranya penerapan lagi pembelajaran-pembelajaran yang ada di dalam kitab Ta'limul Muta'llim, misalnya dalam kutipan syarh kitab Ta'limul Muta'allim
. .
Artinya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya.

Dari kutipan diatas perlu kiranya kita berpikir kembali bahwa apakah niat menuntut ilmu kita sudah lillahi ta'ala dan tidak karena ingin mendapat kehormatan atau sanjungan dari orang lain? 

Sejauh penulis melihat pada zaman sekarang, mayoritas seseorang menuntut ilmu bukan karena mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan yang sesuai dengan bait-bait kitab Ta'limul Muta'allim, tapi malah ingin mendapat kehormatan dari orang lain dan ingin mendapat jabatan yang tinggi. Maka dari itu marilah kita pelajari lagi kitab Ta'limul Muta'allim agar menjadi manusia yang sesuai dengan tuntunan syari'ah. Dan menuntut ilmu sesuai dengan aturan-aturan dalam kitab itu.

Syekh al-Zarnuji juga memperbolehkan memiliki tujuan menuntut ilmu selain untuk tujuan akhirat seperti tujuan untuk dunia, akan tetapi tujuan keduniaan tersebut harus menjadi pendukung dalam mencapai tujuan akhirat, seperti kutipan dalam kitab.
. :
    *  
 *   .
Artinya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. 

Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.

Dalam kitab ini juga dibahas tentang seseorang yang ingin mendapat ilmu harus memiliki enam kategori, dintaranya kecerdasan, tama' dengan ilmu, sabar, bekal, petunjuk guru, dan waktunya lama. Jika semuanya itu belum dimiliki oleh murid maka jangan harap memperoleh ilmu yang hakiki. 

Dan yang harus dimiliki oleh sang murid adalah sifat menghormat atau mengagungkan guru dan kitab. Syaidina Ali berkata dalam kitab Ta'limul Muta'allim "Saya akan menjadi budaknya orang yang mengajarkanku satu huruf, dan jika seseorang itu ingin menjual atau memperbudak Syaidina Ali, maka Syaidina Ali bersedia." Menghormati kitab dengan memperbagus tulisan, tidak menulis dengan tulisan kecil, dan tidak menulis dibagian pingir kecuali ada kepentingan (darurat).

Kesimpulannya adalah kitab Ta'limul Muta'allim seharusnya lebih ditingkatkan lagi dalam pembelajaran, karena isi atau bait-bait kitab tersebut sangat relevansi terhadap kehidupan dalam menuntut ilmu, apalagi dalam mahasiswa. Jadi perlu kiranya bagi guru ataupun murid mengkaji lebih dalam kitab ini, agar menjadi manusia berintelektual agamis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun