Hari itu, angin sore membawa aroma masakan dari berbagai rumah di kampung. Suara takbir yang bersahut-sahutan menggema dari pengeras suara masjid, menandakan waktu berbuka semakin dekat. Di balik jendela dapur rumah kecil itu, Aulia memandang ke luar dengan tatapan kosong. Matanya yang biasanya cerah, kini tampak redup.
"Coba... kalau saja Papa masih di sini," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Sudah dua tahun sejak kepergian ayahnya, dan setiap Ramadhan, Aulia selalu merasa ada yang hilang. Sosok yang selalu menemani sahur, yang menuntunnya untuk berbuka dengan penuh kebahagiaan. Tapi, sejak ayahnya pergi karena kecelakaan, segalanya berubah. Bulan suci ini tak lagi sesemarak dulu.
"Bagaimana bisa, Bu?" Aulia berbicara pada ibunya, Fina, yang tengah sibuk menata meja makan. "Semua terasa hampa tanpa Papa."
Fina, yang kini duduk di samping anaknya, menghela napas panjang. "Aulia, kita harus belajar ikhlas. Hidup itu tak selalu sesuai harapan, tapi kita harus terus berjalan. Papa tidak akan mau melihat kita bersedih terus, kan?"
Aulia diam, menunduk. Semua kata ibunya terasa manis, tapi ada bagian dalam dirinya yang enggan melepaskan kenangan tentang ayahnya. Terlebih lagi, setiap kali waktu berbuka tiba, rasa kerinduan itu semakin dalam, tak bisa dibendung.
Tahun ini, keluarga mereka merayakan Ramadhan dengan sederhana. Tak ada perayaan besar, tak ada tawa ayah yang menyelingi setiap percakapan. Aulia merasa sepi, dan meski dia berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan ibunya, kerinduan itu selalu datang saat berbuka puasa.
"Mari berbuka, Aulia," ajak Fina lembut, menggenggam tangan anaknya. Mereka duduk bersama, menghadap meja sederhana yang dihiasi takjil, nasi, dan satu piring kolak pisang kesukaan ayah. "Tahun ini, mari kita buka puasa dengan penuh rasa syukur. Ini yang terbaik yang bisa kita lakukan."
Aulia memandang ibunya. Dalam hatinya, ia tahu betapa kuatnya Fina berjuang untuk mereka berdua. Namun, masih ada luka yang tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata. Namun, ia tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan: memaafkan.
"Bu... aku ingin maafkan Papa," ucap Aulia tiba-tiba, suaranya penuh keraguan. "Aku merasa tidak ada waktu untuk itu, aku masih terlalu marah karena dia pergi begitu cepat. Tapi mungkin aku harus memaafkan, agar hati ini lebih tenang."
Fina tersenyum, air mata menetes di pipinya. "Aulia, tidak ada yang lebih penting dari memaafkan. Memaafkan itu seperti memberi kebebasan pada dirimu sendiri. Dan ketika kita memaafkan, kita juga memberi ruang untuk cinta yang lebih besar dalam hidup kita."