Mohon tunggu...
Dwi PutriAndini
Dwi PutriAndini Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations

Mahasiswi Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Strategi dan Kebijakan Pertahanan Indonesia dalam Menghadapi Konflik Laut China Selatan

17 April 2022   22:53 Diperbarui: 18 April 2022   02:04 2318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber ilustrasi: EGSA Geo UGM

Seperti yang kita ketahui bahwa konflik Laut China Selatan (LCS) telah terjadi sejak tahun 1970-an hingga saat ini masih belum menemukan akhir dari konflik. Terdapat 6 negara yang terlibat dalam konflik atau claimant states yaitu, China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Konflik ini terjadi karena masing-masing negara merasa memiliki LCS sebagai bagian dari negara mereka. China berdasarkan rekam jejak sejarahnya, sedangkan negara-negara lain merujuk pada hasil Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Diketahui melalui laman Indonesia.go.id nilai strategis dari LCS yaitu menjadi Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) menghubungkan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Lalu, apa yang membuat konflik ini memanas? Hal itu dikarenakan klaim dari negara atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel dimana dalam kepulauan tersebut menyimpan banyak cadangan minyak juga gas alam. Diketahui cadangan minyak potensial yang terdapat didalam dua kepulauan tersebut mencapai 105 milyar barrel dan diseluruh Laut Cina Selatan sebanyak 213 Milyar barrel. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60-70% hidrokarbon dalam kepulauan tersebut merupakan gas alam (Muhammad, 2012). Berbagai macam cara dilakukan oleh claimant states dalam mempertahankan kepentingan nasional mereka dalam LCS, seperti pengajuan gugatan Filipina terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB, pembangunan pulau buatan dan militer Tiongkok di kawasan LCS, juga Tiongkok membuat peta nine dash line. Konflik ini ternyata mengundang kehadiran Amerika Serikat yang melakukan Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk menghadang ekspansi Tiongkok (Hutama, 2019). Karena kehadiran AS, kedua negara balancing major ini saling melakukan manuver politik dan militer untuk memberikan pengaruh dalam kawasan LCS.

Bagaimana keterkaitan konflik ini hingga Indonesia yang bukan negara pengklaim menaruh perhatian lebih terhadap LCS?

Sebenarnya, Indonesia sudah menegaskan ia tidak melakukan klaim apapun terhadap konflik LCS, dan tidak memiliki overlapping jurisdication atas Tiongkok. Konflik ini mulai menyita perhatian Indonesia ketika Tiongkok mengumumkan peta unilateral LCS di tahun 1993 yaitu peta nine dash line atau sembilan garis putus-putus, di tahun 2010 Tiongkok kembali memperbarui klaimnya di nine dash line dimana didalamnya terdapat wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, Laut Natuna Utara (M, 2014). Tentu hal ini akan memiliki dampak buruk terhadap stabilitas keamanan nasional Indonesia dan juga keamanan energi Indonesia yang berasal dari ZEE, maka dari itu Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik ini dengan membuat strategi dan kebijakan pertahanan yang relevan untuk menegaskan wilayah ZEE Kepulauan Natuna Utara.

Dalam penyelesaian suatu konflik saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma, yang sebelumnya melalui hard power menjadi soft power. Maka, Indonesia mengatasi hal tersebut dengan menjalankan diplomasi untuk mencari solusi dari konflik LCS, namun seharusnya upaya diplomasi ini harus diikuti oleh instrumen pertahanan juga. Pada tahun 2010, Presiden telah mengeluarkan kebijakan pertahanan negara yaitu Peraturan Presiden No. 41 tahun 2010 mengenai Kebijakan Umum Pertahanan Negara tahun 2010-2014. Dalam hal ini, Indonesia membuat strategi melalui Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force / MEF) sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Kementrian Pertahanan dalam Postur Pertahanan 2010/2029. Pemerintah juga melakukan peningkatan dan pembaharuan alutsista yang mulai menua dan menambah jumlah pasukan serta armada tempur demi menjaga keamanan di wilayah perbatasan terutama Natuna.

Dengan penjagaan dari TNI pastinya akan menjadi pengingat bahaya bagi Indonesia bila situasi menegang di LCS. Dalam penjagaannya, TNI menerapkan strategi pertahanan berlapis yaitu, penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Tujuan dari masing masing strategi yaitu, strategi penangkalan untuk bersiap-siaga kekuatan dan kemampuan TNI dalam mewujudkan efek tangkal dari luar maupun dalam. Kedua, strategi penindakan yaitu untuk menangani ancaman yang menganggu kedaulatan dan keutuhan NKRI dengan operasi tempur. Ketiga, strategi pemulihan untuk mengembalikan kondisi stabilitas keamanan juga kondisi rakyat sekitar daerah konflik melalui pembinaan, rekonstruksi, dan rehabilitasi. Namun, hingga saat ini kekuatan TNI sekitar LCS terbilang belum terlalu diperhatikan karena masih terfokus untuk mengatasi ancaman di Laut Sulawesi. Memang benar kalau di LCS terdapat potensi berbahaya bagi stabilitas negara, tetapi Pemerintah Indonesia tidak ingin terjadi perang terbuka di LCS, Indonesia ingin konflik ini selesai melalui diplomasi.

Bagaimana dengan MEF yang dimana pembuatan postur pertahanan dilakukan melalui MEF?

Mengenai hal ini, faktanya pemerintah memfokuskan pembangunan kekuatan MEF di Laut Sulawesi, menurut Hasjim Djalal seorang diplomat dan ahli hukum laut internasional, apa yang dilakukan pemerintah kurang sesuai karena seharusnya memfokuskan di Asia-Pasifik khususnya LCS yang menjadi perebutan besar. Saat ini yang secara khusus menjaga wilayah Natuna adalah Satuan Radar 212 yang berada di naungan Komando Pertahanan Udara Nasional.  Dapat disimpulkan bahwa pertahanan negara di wilayah Natuna sebagai halaman atau pagar depan Indonesia masih belum menjadi perhatian utama oleh kebijakan pertahanan di tahun 2010-2013.

Upaya berikutnya adalah upaya yang dijalankan oleh Indonesia dalam menghadapi konflik ini, Strategi diplomasi ini dilakukan berbagai macam cara ketika masa jabatan presiden Joko Widodo. Melalui pengiriman nota protes ke Tiongkok, lalu melakukan kunjungan ke Natuna dan melakukan rapat kabinet diatas kapal untuk mempublikasikan peta NKRI baru dengan penamaan Laut Natuna Utara, juga meningkatkan kegiatan ekonomi di Natuna. Tidak hanya sekali nota protes tersebut dikirimkan, pada tahun 2016,2019, hingga 2020 Indonesia memprotes Tiongkok yang melanggar IUU Fishing, dalam hal ini Indonesia protes ke Kedutaan Besar RRT di Indonesia, protes tersebut antara lain, Indonesia menolak klaim atas wilayah Natuna Utara yang disebut Tiongkok sebagai traditional fishing ground karena Tiongkok tidak memiliki landasan dalam klaimnya, dan Indonesia menolak klaim nine dash line. Tetapi pihak Tiongkok menolak semua protes Indonesia karena ia memiliki hak secara historis atas perairan di LCS.

Publikasi peta NKRI terbaru dilakukan pada tahun 2017 dengan menghadirkan penamaan Laut Natuna Utara yang tidak lagi menggunakan nama LCS. Alasan mengapa diganti nama tersebut karena menghindari adanya eksploitasi sumber daya di utara Natuna dan menjadi alarm bagi TNI AL dalam menegakkan hukum. Selain itu, dalam membangun ekonomi di Natuna, dilansir dari Kompas.com, Presiden Jokowi membuat 102 sertifikat lahan kepada warga untuk menjadi bukti hukum kepemilikan tanah di Natuna. Kemudian meminta nelayan pulau jawa untuk berlayar ke Natuna yang disetujui 470 nelayan. Mengapa hal ini dilakukan? Untuk memberikan tanda bahwa Natuna adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun