Mohon tunggu...
andari wardani
andari wardani Mohon Tunggu... Koki - swasta

suka memasak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Papua dalam "Satu Frekuensi"

10 September 2019   02:23 Diperbarui: 10 September 2019   02:57 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai di Mansinam Manokwari, Papua Barat. (Foto: Edison W/PB)

Program transmigrasi juga dilakukan, yang menurut Soeharto, dapat menguntungkan penduduk lokal karena bisa belajar dari petani asal Jawa. Ternyata ide ini tidak berjalan baik di Papua. Program ini banyak timbulkan gesekan. Peleburannya dipaksakan.   

Satu Frekuensi

Ketika Soeharto membuka kran investasi asing di Papua otomatis membuat tanah dan gunung yang mereka cintai, rusak. Sungai Aghwagon, Otomona dan Ajkwa yang jadi pembuangan tailing (residu tambang) dan tidak bisa lagi menjadi 'air susu' bagi mereka. 

Suku Amungme yang diami lahan sekitar Freeport dipindah ke dataran lebih rendah tanpa pembekalan cara bertahan terhadap lingkungan baru, sehingga hidup menyedihkan. Sebaliknya  korporasi asing yang mengekploitasi gunung emas milik mereka, hidup dengan sangat mewah.

Pemerintah Orde Baru (Orba) dianggap menafikan akar mereka, mencabut pranata sosial budaya ditambah dengan kebijakan yang represif; panjang dan menyakitkan. Masyarakat lokal kian terpuruk, terluka, kehilangan percaya diri, apatis, marah dan dendam.  

Selama 50 tahun, pemerintah, media dan masyarakat Indonesia non Papua mengunyah informasi soal Papua dalam bingkai politik dan ekonomi, dan  tidak dalam bingkai kultural. 

Pada titik itu, Orang Papua gagal mengimajinasikan konsep Indonesia, sedangkan orang Indonesia non Papua juga gagal mengimajinasikan konsep Papua dengan tepat. 

Sehingga Papua dan Indonesia menjadi dua konsep yang asing dan saling menjauh. Identitas Papua dan  Indonesia jadi dua hal berbeda. Ini terjadi berpuluh tahun lamanya.

Presiden keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melakukan pendekatan agak berbeda. Dia dekati mereka dengan hati dan melihat dengan bingkai kultur. Setelah meminta maaf (atas perlakuan pemerintah pada masa lalu), dia buat beberapa kebijakan penting. 

Pertama,  nama Irian Jaya diubah kembali menjadi Papua. Ini penting karena menyangkut identitas; 'roh' bagi mereka (Irian singkatan dari  Ikut Republik Indonesia Anti Nederland).

Kedua, mengakui simbol kultural bintang kejora (boleh berkibar asal lebih rendah dibanding bendera Merah Putih). Ketiga, membatalkan keputusan politik Presiden Habibie yang memecah Papua menjadi tiga provinsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun