Mohon tunggu...
andari wardani
andari wardani Mohon Tunggu... Koki - swasta

suka memasak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Papua dalam "Satu Frekuensi"

10 September 2019   02:23 Diperbarui: 10 September 2019   02:57 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai di Mansinam Manokwari, Papua Barat. (Foto: Edison W/PB)

Sekitar dua abad lalu, dua misionaris Jerman CW Ottow dan JG Geissler datang ke pulau Marsinam di Teluk Doreh, Manokwari yang didiami suku Numfor Papua. 

Selain menyebarkan Injil dan menerjemahkannya dalam bahasa Melayu, mereka  mengajar banyak hal; menenun serat kayu dan rumput, juga berhitung dan menulis. 

Misionaris itu  mengenalkan ide baru (huruf dan kekristenan) dengan mengikuti cara berfikir masyarakat lokal; kearifan lokal. Awalnya sulit, tapi akhirnya berhasil dan ajaran mereka menyebar ke Biak, Nabire, Wasior dan daerah lainnya.

IS. Kijne, misionaris asal Belanda yang datang seabad kemudian, membuat sebuah buku pegangan tulis menulis berjudul 'Itu Dia!' yang berbasis kultur  Biak - diambil dari kata 'iriani' yang artinya 'itu dia' (Ngurah Suryawan, 2014). 

Mereka belajar di bawah pohon rindang, di tepi ladang atau di pinggir sungai. Karena berbasis kultur dan mengikuti  cara berfikir penduduk lokal, maka masyarakat Papua lebih mudah menerimanya.

Nilai-nilai kultural Papua yang penting, adalah pemahaman bahwa tanah, gunung dan hutan adalah 'ibu' bagi mereka. Sedangkan sungai ibarat 'air susu ibu'. Semuanya mereka cintai dan harus dijaga, karena bagian dari diri mereka. Konsep ini mirip dengan orang Bali dan Gunung Agung-nya.

Sejak Papua bergabung dengan Indonesia, Presiden Soeharto terus menerus melakukan pendekatan militer dengan status Daerah Operasi Militer (DOM), tahun 1978-1998. Pendekatan militer ini menewaskan ratusan ribu orang dan menimbulkan trauma cukup dalam.  

Dalam hal pendidikan, sekolah tidak berangkat dari kearifan lokal. Sekolah berdinding bata seakan mengukung mereka. Pemerintah mengganti buku 'Itu Dia!' dengan 'Ini Budi'. 

Berbeda dengan daerah lain di Indonesia,  banyak penduduk Papua sulit  menerima pengajaran yang disodorkan Departemen Pendidikan dan situasi ini masih berlangsung sampai sekarang.

Pendekatan yang dilakukan pemerintahan Soeharto tidak cocok dengan masyarakat Papua.  Penduduk lokal mengenal nama Heluka, Kumungga, Amos, Lukas dan Matius, tapi nama Budi dalam buku 'Ini Budi' asing bagi mereka. 

Buku pegangan siswa banyak terdapat gambar gunung dan sawah seperti di Jawa atau Sumatera, sedangkan di Papua (waktu itu) tidak ada sawah melainkan ladang. Di Papua tak ada traktor, yang ada cangkul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun