Mohon tunggu...
Anazkia
Anazkia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Fansnya Anuar Zain, suka baca buku, suka baking, acap berkicau pendek di Twitter @anazkia dan kadang di anazkia.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ke Baduy, Yuk...???

25 September 2010   22:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:58 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebutan urang Baduy bagi seluruh penduduk Kanekes yang tinggal di lereng pegunungan Kendeng itu bukanlah berasal dari sebutan mereka sendiri. Orang Belanda menyebut mereka badoe’i, badoei, badoewi, kanekes dan rawayan. Penduduk Islam Banten menyebut mereka urang Baduy (orang Baduy), yang menyamakan dengan masyarakat pengembara di Arab, orang Badawi.

Perkampungan masyarakat Baduy berada pada ketinggian 800-1200 M, di atas permukaan laut. Keadaan suhunya 20 derajat-22 derajat, keadaan tanahnya selalu basah di samping lembab dan berlumut. Daerah yang dijadikan hunian berada di celah bukit, lereng, tebing dan lembah yang ditumbuhi pepohonan besar. Perkampungan dibangun secara berkelompok dengan jarak dari satu kampung dengan yang lain puluhan kilometer.

Batasan kawasan sebelah utara desa Cibungur dan desa Cisimeut yang berada di kawasan Leuidamar sebelah barat desa Karangcobong dan desa Sobang, kecamatan Cipanas. Sebelah selatan desa Cigemblong kecamatan Cibayah. Sebelah selatan desa Karangnunggal kecamatan Bojongmanik.

Kawasan Baduy memiliki sebanyak 30 buah kampung yang terbagi dua, kampung bagian luar yang dihuni oleh masyarakat Baduy kajeroan yang dikenl juga dengan sebutan Baduy dalam. Bahasa Baduy termasuk dalam kategori dialek Sunda Banten, yaitu subdialek Baduy, tidak dipengaruhi bahasa Jawa-Banten seperti halnya subdialek Banten lainnya. Bahasa Baduy tidak memiliki undak usuk, kosakata dan aksen tinggi dalam lagu kalimat serta beberapa jenis struktur kalimat yang khas. Perkembangan bahasa Sunda di Jawa Barat tampaknya telah menjadikan subdialek Baduy makin jauh dari bahasa Sunda lulungu yang dianggap baku. (Drs. H. Mansur Muhyiddin, 1999 “banten Menuju Masa Depan” Semoga Jaya, Cilegon, 37-38)

Sekilas, pengantar pada sebuah laporan tujuh tahun lalu. Ya, tahun 2003, aku pernah menjejakan kaki di tanah Baduy untuk mengadakan penelitian khusus anak kelas IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) aku, bersama dengan teman-teman juga guru pendamping menuju Baduy dan menginap di sana selama tiga hari dua malam.

Tujuan utama adalah mengunjungi Baduy dalam kampung Cikatawarna. Sayang sekali di sana sedang ada upacara tertutup dan orang luar dilarang mengunjungi. Maka sampailah kami hanya sebatas kampung Cibeo, pertengahan sebelum Baduy dalam. Itupun menginap hanya semalam, sebab esoknya di sana juga diadakan ritual membongkar rumah yang lagi-lagi orang luar dilarang untuk melihatnya.

Kami dibagi dalam beberapa kelompok, masing-masing kelompok mengerjakan tugas sesuai dengan pembahasan. Dan kelompokku mendapatkan tugas untuk membuat laporan tentang kebudayaan suku Baduy. Di mana mencakupi beberapa perkara tentang system kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang dari kota Cilegon, kemudian sampai di perbatasan Ciboleger tengah hari maka kami diharuskan untuk mendaki sampai ke Baduy dalam melewati beberapa lembah dan bukit. Sehabis shalat jum’at kami baru memulai pendakian. Ada yang baru sampai diperbatasan langsung pingsan (akhirnya nggak jadi ikut) ada juga yang di tengah jalan tepar kehabisan tenaga. Dan aku, alhamdulilah sampai tujuan selamat sentosa dengan tas besar bertengger di punggung.

Menjelang senja, kami sampai juga di kampung Cibeo. Dan sore-sore sebelum maghrib, kami berkumpul di depan rumah warga untuk mengadakan wawancara (weleh, gayane) sayangnya, wawancara terkendala dengan bahasa. Kami, sebagian tidak memahami bahasa Sunda. Beruntung, ketika salah seorang sahabatku yang asli Tasikmalaya menjadi bagian dari kelompokku. Sedikit terselamatkan, meskipun secara dialek Sundanya dengan Sunda orang-orang Baduy jauh dari sama.

Foto ngambil dari google

Di sebelah rumah warga, ada tanah lapang. Dan di tanah lapang itu, terpacak sebuah bambu dengan tanda silang. Kata Guru kami, itu adalah batas kami menjejakan kaki. Karena beberapa meter dari situ, adalah rumah Pu’un (kepala Desa) yang tak boleh kami jejaki.

Maghrib menjelang, mau tidak mau kami harus menyudahi wawancara. Dan kembali ke tempat penginapan warga yang sudah ditetapkan. Sebelum menjalankan ibadah shalat magrib, berramai-ramai kami menuju sungai terdekat, untuk mengambil air wudhu.

Sebelum berangkat ke Baduy, guru-guru kami sudah mengingatkan kalau di Baduy dalam, kami dilarang menggunakan sabun mandi, pasta gigi, shampoo dan lain-lain. Juga dilarang menggunakan kamera, membawa radio. Alhasil, sebagian besar dari kami membawa senter sebagai penerang. Dan ketika mencuci muka atau ada beberapa teman yang mandi tidak menggunakan pasta gigi dan sabun.

Malam selepas magrib, kami menyantap hidangan malam. Tuan rumah memasakan kami nasi, juga merebuskan Indomie yang kami bawa. Baru setelah makan, bersama dengan isteri tuan rumah kami menuju ke sungai. Membasuh pinggan juga sekalian mengambil wudhu untuk shalat Isya. Gulita sekali ketika malam mulai menjelang. Belum jam Sembilan malam, tuan rumah sudah beranjak tidur. Dan kami, dibiarkan terdampar di ruang tamu berramai-ramai.

Semakin malam, bukannya semakin ngantuk. Kami dicekam perasaan takut. Tiba-tiba, terdengar suara orang lelaki yang meracau tak tentu. Seperti marah-marah, bicaranya dalam bahasa Sunda. Karena sebagian besar tidak memahami arti bahasanya, kami bertanya dengan salah seorang teman yang orang Tasik. Dan kata teman tersebut, orang yang sedang berbicara tak jelas itu sedang mengancam kami para pendatang dan besok, akan menunggu di perbatasan.

Sontak, kalimat itu membuat kami ketakutan. Malam semakin larut, tapi kami tidak dapat memejamkan mata. Kebetulan, di rumah yang kami tempati tidak ada guru pendamping. Pun ketika tiba-tiba ada seekor kucing masuk ke dalam rumah, dan melintasi kami, semua teman-teman (termasuk aku) semakin dicekam takut. Bahkan, salah seorang yang terbaring di dekatku memelukku kuat-kuat sampai aku tak bisa bernafas, huft…

Alhamdulilah, setelah melewati ketakutan yang sangat kami dapat juga memejamkan mata. Esoknya, baru kami tahu kalau orang yang ngoceh semalaman itu katanya emang selalu begitu dan sedikit kurang waras menurut warga sekitar.

Pagi-pagi setelah sarapan, kami buru-buru keluar dari kampung Cibeo. Karena di sana akan ada acara khusus yang orang luar, lagi-lagi tidak boleh melihatnya. Ada beberapa kesmipulan yang dapat kami ambil dari sekilas meneliti dan menanyakan kepada masyarakat kampung Cibeo tentang kebudayaannya.

Sistem Kepercayaan

Hampir 100% masyarakat Baduy dalam menganut kepercayaan sunda wiwitan. Masyarakat Baduy mengenal akan adanya syahadat, masyarakat Baduy percaya kepada adanya hidup, sakit, mati dan nasib semua itu berada pada yang maha mencipta, orang Baduy menyebutnya Bathara Tunggal.

Pada acara tertentu sering kali kebudayaan yang bersifat tradisional dilaksanakan dengan alasan nurutkeun tali paroni karuhun, artinya mengikuti jejak kebudayaan nenek moyang, pada acara sebagai berikut:

1. Kawalu (Lebaran)

Kawalu merupakan upacara adat masyarakat Baduy dilaksanakan dalam waktu yang sangat panjang sebagai peristiwa besar dalam mengakhiri tutup tahun. Seluruh kawasan dinyatakan tertutup bagi tamu yang mau masuk. Dalam satu bulan, kampunya harus bersih dari semua barang yang berupa perabotan, perhiasan dan pakaian. Selanjutnya berziarah ke panembahan Arca Domas. Upacara dilakukan secara khusus yang dipimpin oleh Pu'un Cikeusik bersama rombongan yang terbatas.

2 Kelahiran

Dalam masa kehamilan seorang Ibu, dilakukan selamatan, kalau anak pertama acaranya lebih meriah. Bayi usia 5-7 bulan di dalam kandungan disebut selamatan "tumbal". Selamatan usia 9 bulan, disebut selamatan "perehan" Setelah bay lahir dan berusia 40 hari, disebut selamatan "perehan puputan" yang disertai dengan lek-lekan (tidak tidur) selama 3 malam. Sekaligus memberikan nama. pemberian nama dilakukan oleh Pu'un.

3. Khitan

Di Baduy, anak lelaki yang sudah berusia 3-4 tahun sudah disunat. Khitan dilakukan oleh seorang dukun yang diberi nama "bengkong" atau "paraji" dengan menggunakan alat yangs ederhana seperti penjepit dan piasu.

4. kematian

Orang Baduy percaya bahwa kematian merupakan akhir dari perjalanan dunia di mana setiap kehidupan akan sampai pada tujuan itu. "Wadag" bahasa Baduy yang maksdunya jasad, katanya tidak ubahnya seperti batang pisang atau tunggul kayu bila tidak ada rohnya. Maka akan musnah dimakan tanah. pemakamannya tidak dibesar-besarkan, kuburannya pun biasa saja tanpa diberi nisan dan diratakan saja dengan tanah hanya sekelilingnya ditanami pohon hanjuang merah (nggak tahu pohon apa) Selamatan dilakukan hari ke I, ke lll, ke VII setelah itu tidak ada selamatan lagi. Menguburnya ditidurkan setengah tertelungkup, mukanya menghadap ke barat dengan membujur ke selatan.

Masih ada beberapa point tentang kesenian dan adat istiadat. Tapi, kalau ditulis semua bakalan panjang banget, kalau rajin posting lagi :) gambar semua diambol dari google.

Dan, buat temen-temen kompasianer yang berminat ke Baduy, Insya Allah aku bersama dengan beberapa teman-teman Rumah Dunia dan teman-teman Blogger akan ke sana bulan depan. Yang mau ikut, silakan...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun