Mohon tunggu...
Anazkia
Anazkia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Fansnya Anuar Zain, suka baca buku, suka baking, acap berkicau pendek di Twitter @anazkia dan kadang di anazkia.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Desa Cipaku Dalam Kenangan Waduk Jatigede

1 September 2015   11:48 Diperbarui: 1 September 2015   11:48 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat berita di televisi mengenai mulai dioperasikannya Waduk Jatigede, saya jadi teringat kalau pernah bertandang ke sana. Bercengkrama dengan warga Desa Cipaku, juga melihat langsung Waduk Jatigede dari dekat.

Hari baru beranjak malam ketika kami baru saja menyelesaikan makan malam. Kantuk langsung menyerang kami, setelah seharian lelah mengikuti perjalanan melihat waduk Jatigede dengan jalanan yang tak berapa bagus. Kalau tidak diwanti-wanti untuk berkumpul di Mushola setelah makan malam, tentunya kami (terutama saya) enggan untuk menuju mushola beramah tamah dengan warga Kampung Cipaku. Saya menjadi rombongan terakhir yang sampai di mushola. Pak Natahendra, mantan ketua RW Kampung Cipaku sudah duduk di bagian paling depan menghadap kami dan sudah mulai membuka cerita.

Ya, malam itu tepatnya 21 Februari 2015 saya bersama dengan beberapa teman-teman blogger berkunjung ke Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. “Melihat kampung yang bakalan tenggelam kalau nanti Waduk jatigede dioperasikan.” Begitulah ajak kawan saya ketika menawarkan untuk mengunjungi Desa Cipaku.

Sabtu pagi, kami berangkat dari Jakarta, janjian di satu titik depan kampus ITB Jatinangor sebelum akhirnya beriringan 10 mobil menuju Desa Cipaku. Sebagian, ada teman-teman blogger yang turut serta. Sebagian lagi adalah kawan-kawan warga Cipaku yang sedang berjuang dan berusaha supaya Desa Cipaku tidak tenggelam. Kang Asep, merupakan salah satu warga asli Cipaku yang turut serta bersama kami. 

Perjalanan dari Jakarta ke Desa Cipaku memakan waktu hampir lima jam. Sampai di Desa Cipaku, saat adzan dhuhur berkumandang. Kami disambut ramah oleh warga sekitar, hidangan khas setempat sudah berjejer di meja. Kursi-kursi plastik berbaris rapih di antara makanan yang berjejer. Rambutan, rengginang dan makanan lainnya terhidang. Kami, yang kebetulan belum menikmati hidangan sejak pagi langsung menjamah makanan yang dihidangkan. Kang Rahman dan Kang Asep mengenalkan kami dengan warga sekitar.

“Terima kasih, buat Bapak-Bapak juga Ibu-Ibu yang sudah mau hadir di sini. Mungkin, ketika nanti kampung ini sudah ditenggelamkan bisa menjadi cerita kalau pernah datang ke sini.” Ujar salah seorang warga yang menyambut kami. 

Selesai beramah tamah dan berkenalan, kami dipersilakan menikmati hidangan makan siang. Sedianya, setelah shalat dhuhur nantinya kami akan sama-sama bergerak menuju pembangunan waduk jatigede. Melihat lebih dekat seperti apa waduk yang digadang-gadang terbesar di Indonesia kedua sejak era pemerintahan Soekarno sehingga kini masih belum terselesaikan.

Selesai makan siang dan shalat dhuhur, kami beranjak meninggalkan Desa Cipaku menuju waduk Jatigede. Saya kira, jalan menuju Waduk Jatigede itu dekat. Rupanya perkiraan saya salah. Melewati jalan berbatu dan penuh debu, perlahan-lahan kami menuju waduk Jatigede. Saya ikut mobil Kang Asep, warga Cipaku asli. Di situ juga ada istri Kang Asep, mertua Kang Asep juga saudaranya. Banyaklah saya mendapat cerita perjalanan warga Desa Cipaku mengenai sejarah pembangunan waduk Jatigede. Semakin dekat dengan waduk Jatigede, kang Asep menunjukan bangunan besar yang berdiri gagah,

“Lihat, tuh, Teh. Ada bangunan yang sudah longsor. Belum dioperasikan aja sudah ada yang longsor begitu. Ini karena kontur tanahnya nggak sesuai, Teh,” kang Asep menjelaskan kepada saya. Dari dalam mobil, saya langsung mengarahkan kamera ke arah bangunan yang longsor.

Maka, malamnya ketika Pak Natahendra bercerita di Mushola, tentang muasal Desa Cipaku, sejak wacana pembangunan waduk Jatigede, tidak semua warga Cipaku menyetujui pembangunan waduk tersebut. Ternginga-ngiang bagaimana Pak Natahendra berkisah, "Kami mau apa kalau sawah-sawah kami ditenggelamkan?" ya, janji perumahan yang disediakan oleh pemerintah buat mereka bukanlah penyelesaian. Rumah ada, mata pencaharian tidak ada pun mau apa? Uang ada, setelah itu nggak bisa apa-apa pun bisa apa? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun