Mohon tunggu...
Anatasia Wahyudi
Anatasia Wahyudi Mohon Tunggu... Freelancer - i am dreamer!

Ordinary people and stubborn

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan Ekonomi Politik Media di Negara Demokrasi

23 Juli 2021   01:06 Diperbarui: 23 Juli 2021   01:14 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sikap politik media tercermin dalam sajian berita sebagai manifaste dari fungsi demokrasi media. sikap politiknya terlihat dari manifaste berupa konstruksi beritanya. Menurut Simarmata, sikap media dibagi menjadi empat, yaitu: Radikal, dengan kata lain sebagi idealism sendiri dan berambisi mengubah cara pandang seseorang menurut polanya. Kedua, oposisional yangpada hakikatnya ialah bertentangan dengan pihak atau pendapat yang lain. Ketigam paratisan artinya didominasi oleh kelompok tertentu sehingga berpotensi mengarah pada keberpihakkan pada pihak tertentu. Keempat, netral artinya tidak terikat dengan siapapun, menjadlankan perspektif berita secara adil dan berimbang.

Sebagian kalangan menilai bahwa pemilik media mengintevensi sikap politik media, sebagian lagi khususnya kalangan jurnalis agak sulit menemukan bentuk dari intervensi tersebut karena terjadi secara halus. Menurut Herman dan Chomsky, tujuan untuk mempertahankan posisi politik dan ekonomi media, mediacenderung mengakomodasi perspektif dominasn dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan keberadaan media yang dipengaruhi, bukannya mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Para pemilik media swasta umumnya memiliki kepentingan secara finansial dan strategis yang menimbulkan upaya dalam memengaruhi pengambilan keputusan politik. Tidak jarang  diantara mereka memiliki posisi ideologis yang terbuka bahkan ambisi politik tersendiri. Dukungan surat kabar untuk partai politik lebih lazim dan terkadang partai politik mengendalikannya. Untuk alasan pemilu, para politikus juga acap kali diwajibkan meminta dukungan dari media besar.

Dorongan demokratisasi dan liberalisasi politik umumya maupun kebebasan pers secara khusus mulai dihapus, terlebih di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang menghapus peraturan-peraturan diskriminatif. Pers kemudian mengikuti dampak dari transisi politik ini. pers di era transisi ini menuju demokrasi yang bisa disebut mencerminkan siapa pemilik modal atau pemilik kepentingan dibalik pengelolaan pers itu sendiri. Mereka akan mengendalikan opini publik dengan menjadikan diri sebagai opinion leader serta kognisi kolektif akan mengarahkan artikulasi politik kaum terdidik di tanah air.

Akan tetapi, kebebasan pers sifatnya bias ketika pers memanfaatkan kebebasan tersebut dalam membangun ideologi dan kepentingan ekonomi politik sehingga menjadikan media sebagai alat dari kekuasaan. Jika dilihat hari ini, setiap kali pemilu berjalan, para pemilik media menjadikan media sebagai alat kampanye untuk memeroleh dukungan. Bahkan lebih buruknya, pemilik media yang juga dari partai politik dengan kekuatan modalnya menyelipkan pemberitaan tentang dirinya dengan harapan akan mendapatkan atensi dari masyarakat. Lebih dari itu, media seharusnya mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat UU serta konstitusi negara yang dapat indepen.

2.6 Tantangan Ekonomi Politik Media di Negara Demokrasi

Kendala parsialitas serta perwujudan prinsip ruang publik menjadi tantangan yang berat bagi pers ke depanny. Indonesia memiliki sejarah panjang dimaa pers tidak cukup berhasil dalam memecahkan kendala-kendala ideologi, politik, maupun teknis sehingga kehilangan esensinya sebagai institusi keempat dalam pilar demokrasi. Kecenderungan monopoli informasi melalui media televisi acapkali mewarnai pelaksanaan Pemilu. Terkadang sulit membedakan mana liputan tentang aktivitas pemerintah dan mana liputan tentang aktivitas sebagai kontestan Pemilu. Hal ini dikarenakan media membiarkannya saling berkelindan.alih-alih mempresentasikan ruang publik dalam arti sesungguhnya, media mungkin justru menjadi faktor conflict intersifier antar kelompok massa pendukung.

Liberalisasi media berdampak pada konsentrasi kepemilikan media. Fenomena ini memunculkan jaringan media dalam satu paying korporasi sehingga mmunculkan kerajaan-kerjaan media. kemudian, memengaruhi kepada produksi konten dari media itu sendiri. Konsentrasi kepemilikan media menyebabkan semakin berkurangnya jumlah pemain dalam industri media.

Fenomena konsentrasi kepemilikan media ini berimplikasi pada proses produksi konte dengan cara memudahkan kerja pengelola media untuk melakukan homogenisasi isi. Femonema bisnis media di Indonesia ini dalam kajian ekonomi politik dari Peter Golding dan Graham Murdock berkaitan dengan produksi makna menjadi ajang kekuasaan. Hal ini dilihat dari dua isu kunci yaitu: 1) pola kepemilikan institusi dan konsekuensi dari pola tersebut untuk mengontrol aktivitas media, dan 2) sifat hubungan di antara peraturan pemerintah dan institusi komunikasi.

Tujuh penyimpangan media dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah Amerika, Paul Jhonson. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang dilakukannya terhadap kebebasan pers di Amerika, Jhonson menemukan istilah "Tujuh Dosan yang Mematikan" (seven deadly sins). Adapun tujuh dosa tersebut adalah sebagai berikut (Jhonsosn, 1997: 103):

Pertama, distorsi informasi. Praktik penyimpangan ini bertumpu pada praktik mengurangi hal yang penting atau menambahkan hal yang tidak penting bagi publik. Secara teknis hal ini sering dilakukan dengan modus pencampuran antara fakta dan realitas atau pola rekonstruksi pemberitaan terhadap suatu peristiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun